TEMPO.CO, Jakarta - Fobia komunisme baru-baru ini muncul lagi setelah kontroversi simposium nasional “Membedah Tragedi 1965, Pendekatan Kesejarahan” yang digelar oleh Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Hak Asasi Manusia di Hotel Aryaduta, Jakarta, pada 18-19 April 2016.
Kelompok masyarakat yang getol menyuarakan bahaya kebangkitan komunisme, terutama militer, memprotes keras. Muncullah acara tandingan, yaitu “Silaturahmi Purnawirawan TNI/Polri, Ormas Keagamaan, dan Kepemudaan” di Balai Kartini, Jakarta. Lalu marak sweeping buku-buku tentang ideologi kiri dan simbol-simbol yang mirip dengan Partai Komunis Indonesia.
Baca: Ini Kata Harry Poeze Soal Sweeping Buku Kiri
Setahun setelah Gerakan 30 September 1965, Presiden Sukarno berpidato di hadapan Delegasi Angkatan ‘45 yang datang ke Istana Merdeka pada 6 September 1966. Seperti dikutip dari buku Revolusi Belum Selesai, Proklamator ini menerangkan asal-muasal komunisme hingga penolakannya terhadap pemberantasan para komunis.
Bung Karno menjelaskan kelahiran komunisme dengan pertanyaan. “Di mana tempatnya komunisme lahir? Di mana tempatnya Marxisme lahir? Di mana tempatnya sosialisme lahir?” katanya. “Apakah di gedung-gedung swasta di Kebayoran?”
Baca :
Perpustakaan Nasional Dukung Pemusnahan Buku-buku Kiri
Unair Bebaskan Mahasiswa Lahap Buku-buku Pemikiran Kiri
Luhut pun Mulai Menemui Para Rival Setya Novanto
Novanto Jadi Ketua Umum Golkar, Beredar Bukti Pembayaran oleh Istri
Menurut Presiden Sukarno, ideologi kiri seperti sosialisme, Marxisme, dan komunisme lahir di kampung-kampung kumuh dengan gubuk-gubuknya yang bocor. Di situ ibu-ibu tak mampu memberi susu yang cukup buat anak-anak mereka. Lalu anak-anak itu telanjang dan ngesot di tanah akibat kemiskinan yang mencekik. “Di situlah tempat lahirnya sosialisme atau Marxisme atau komunisme,” ucapnya lantang.
Baca: Ribut PKI, Mengapa Komunis Masih Bergerilya di Kolombia?
Bahkan Presiden Sukarno memastikan, walau tanpa ada tokoh-tokoh komunis seperti Muso, Alimin, D.N. Aidit, serta Nyoto, aliran-aliran itu tetap akan membuncah. “Pasti, pasti, pasti, pasti, pasti timbul!” Sebab, ideologi muncul karena kondisi atau hubungan sosial-ekonomi masyarakat, bukan lantaran ada tokoh tertentu.
JOBPIE SUGIHARTO