TEMPO.CO, Yogyakarta - Lembaga Konsumen Yogyakarta meminta pemerintah membatalkan kenaikan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan karena membebani masyarakat. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 19 Tahun 2016, pemerintah menetapkan kenaikan iuran BPJS, yang akan diberlakukan per 1 April 2016.
Ketua Lembaga Konsumen Yogyakarta J. Widijantoro mengatakan kebijakan menaikkan iuran BPJS tidak tepat di tengah situasi ekonomi tidak menguntungkan bagi kelompok masyarakat berpenghasilan pas-pasan. Apalagi kenaikan iuran BPJS itu bagi peserta mandiri atau pekerja bukan penerima upah. “Kenaikan iuran bukan solusi dan semakin memberatkan pekerja berpenghasilan tidak menentu,” kata J. Widijantoro, Senin, 14 Maret 2016.
Kenaikan iuran untuk menutup defisit operasional yang mencapai lebih dari Rp 7 triliun, sejak 2014. Dengan terbitnya perpres itu, besaran iuran kelas I yang semula Rp 59.500 menjadi Rp 80 ribu. Iuran kelas II yang semula Rp 42.500 naik menjadi Rp 51 ribu. Sedangkan iuran kelas III yang semula Rp 25.500 menjadi Rp 30 ribu. Iuran peserta penerima bantuan iuran (PBI) serta penduduk yang didaftarkan pemerintah daerah juga mengalami kenaikan, dari sebelumnya Rp 19.225 menjadi Rp 23 ribu. Namun kenaikan iuran bagi peserta PBI tersebut sudah berlaku sejak 1 Januari lalu.
Pemerintah, kata dia, seharusnya punya pertimbangan yang kuat sebelum mengambil keputusan menaikkan iuran dengan melihat peserta BPJS yang beragam. “Ada manajemen yang kacau dalam mengelola BPJS sehingga terjadi defisit,” ujar Widijantoro.
Menurut dia, menaikkan iuran karena defisit tidak bisa dijadikan dasar karena negara wajib memenuhi hak dasar pelayanan kesehatan masyarakat. Pemerintah seharusnya mengalokasikan anggaran untuk memenuhi kesehatan masyarakat dalam jumlah yang besar. “Pemerintah bisa menggunakan cara lain untuk menutup defisit itu, misalnya dengan memperbanyak jumlah peserta BPJS,” katanya.
Lembaga Konsumen Yogyakarta melakukan kajian terhadap layanan BPJS. Hasilnya masyarakat banyak mengeluhkan layanan BPJS. “Masyarakat yang mengakses layanan BPJS harus mengantre berjam-jam,” ujar Widijantoro.
Wisnu Darto, peserta BPJS mandiri, keberatan dengan kenaikan iuran itu. Dia mengeluhkan pelayanan BPJS yang amburadul. Misalnya ia harus antre dan menunggu lama untuk mendapatkan layanan BPJS. “Saya minta kenaikan iuran ditunda sampai keadaan ekonomi membaik,” katanya.
SHINTA MAHARANI