TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti dan sejarawan Indonesia, Asvi Warman Adam, mengatakan negara harus meminta maaf kepada Soekarno atas tuduhan terlibat Partai Komunis Indonesia. Menurut dia, permohonan maaf tersebut tentunya akan memberikan dampak yang cukup besar.
"Akan memulihkan nama baik Soekarno," kata peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia ini, saat dihubungi Rabu, 7 Oktober 2015. “Selama ini kan Soekarno dituding terlibat dan menjadi orang dibalik pemberontakan G30S, padahal ia sendiri juga tidak menyetujui penembakan yang dilakukan PKI terhadap para jenderal tersebut."
Soekarno, menurut Asvi, seperti yang tertulis di salah satu bab dalam buku putih yang dikeluarkan Sekretariat Negara pada 1992, dituliskan sebagai sosok yang melindungi PKI, padahal sesungguhnya tidak. Asvi menambahkan, bahwa negara harus memberikan maaf kepada Soekarno melalui buku putih. “Buku putih harus dibalas buku putih. Ini sebagai klarifikasi dan pemulihan nama baik Soekarno,” katanya.
Selain itu, dampak lainnya adalah pelurusan sejarah bagi bangsa Indonesia. Dalam hal ini, Asvi menjelaskan, “Jika sudah dilakukan penelitian dan pembuktian dan dibukukan dalam buku putih, maka dampak lainnya dalah pelurusan sejarah Indonesia,” ucap Asvi mengakhiri pembicaraan.
Wacana negara harus meminta maaf kepada Soekarno berembus sejak Ketua Fraksi PDIP MPR Ahmad Basarah mengatakan bahwa pemerintah Indonesia harusnya meminta maaf kepada Bung Karno. Bung Karno adalah korban peristiwa G30S 1965/PKI. Peristiwa itu jugalah yang membuat kekuasaan Presiden Soekarno dicabut melalui Tap MPRS XXXIII Tahun 1967 tertanggal 12 Maret 1967 dengan tuduhan telah mendukung G30S.
Dalam Pasal 6 TAP MPRS tersebut, kata Basarah, penjabat Presiden, Jenderal Soeharto, diberikan tanggung jawab untuk melakukan proses hukum secara adil guna membuktikan dugaan pengkhianatan Presiden Soekarno. "Namun hal tersebut tidak pernah dilaksanakan sampai Presiden Soekarno wafat tanggal 21 Juni 1970," tutur Basarah melalui pernyataan tertulis.
Ketua Fraksi PDIP di MPR itu menegaskan, dengan terbitnya TAP MPR Nomor I Tahun 2003 tentang Peninjauan Kembali Materi dan Status Hukum TAP MPRS/MPR sejak Tahun 1960-2002, maka TAP MPRS Nomor XXXIII Tahun 1967 dinyatakan tidak berlaku lagi. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 7 November 2012 juga memberikan anugerah kepada Soekarno sebagai pahlawan nasional.
Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar dan Tanda Jasa, kata Basarah, syarat pemberian gelar pahlawan nasional adalah dapat diberikan kepada tokoh bangsa apabila semasa hidupnya tidak pernah melakukan pengkhianatan kepada negara.
BAGUS PRASETIYO