TEMPO.CO, Bandung - Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Bambang Gatot mengatakan, kementeriannya menunggu data izin pertambangan dari semua daerah di Indonesia. Di Jawa Barat pemegang IUP (Izin Usaha Pertambangan) ada 619 perusahaan. "Tujuan supervisi dan koordinasi ini untuk mengetahui seberapa besar penerimaan negara,” kata dia dalam rapat itu di Bandung, Kamis, 17 September 2015.
Catatan Kementerian ESDM, dari seluruh perusahaan pemegang IUP di Jawa Barat itu tercatat tunggakan pembayaran iuran tetap dan royalti mencapai Rp 10,6 miliar oleh sedikitnya 126 perusahaan. “Kami sudah berusaha menagih semua pemgang izin,” kata Bambang.
Bambang mengatakan, kementeriannya sudah menjadwalkan untuk melaporkan semua hasil pendataan perizinan itu Oktober pada Presiden Joko Widodo. “Koordinasi ini sudah terlalu lama, sejak 2014 sudah dua tahun tapi jumlahnya tidak signifikan,” kata dia. Di seluruh Indonesia, Kementerian ESDM mencatat terdapat 4.000 perusahaan tambang yang belum mengantungi persyaratan clean and clear untuk pengelolaan tambangnya. “Satu bulan ini harus sudah diselesaikan."
Wakil Gubernur Deddy Mizwar mengatakan, dari 20 kabupaten di Jawa Barat yang menerbitkan perizinan pertambangan, baru tujuh daerah yang menyerahkan data perizinannya. “Izin ini yang mengeluarkan selama ini kabupaten, kalau ini gak bisa kita dapatkan, berarti ada sesuatu yang keliru di situ,” kata dia selepas Rapat Evaluasi Gerakan Nasional Penyelamatan Sumberdaya Alam yang melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi di Bandung, Kamis, 17 September 2015.
Deddy mengatakan, laporan soal data pemberian izin pertambangan itu akan diserahkan pada Kementerian dan Lembaga terkait paling telat Oktober ini. Jika data tak kunjung diperoleh, data yang ada saja yang diserahkan. “Saya tidak mau berpikiran buruk tapi minimal kita tahu apa yang terjadi sebenarnya,” kata dia.
Menurut Deddy, data itu dibutuhkan untuk membenahi sektor pertambangan yang perizinannya menerut undang-undang terbaru diserahkan pada pemerintah provinsi. “Sampai sekarang 13 kabupaten belum memberikan data, jangan sampai kita cuci piring kotor, tapi piring kotor dimana kita gak tahu. Pasti ada sesuatu di sini,” kata dia.
Deddy mengatakan, itu baru sektor pertambangan, sementara Rencanan Aksi Penyelamatan Sumber Daya Alam yang dibantu KPK itu menyasar sektor kelautan, perkebunan, serta kehutanan. Di sektor kelautan misalnya, pendataan kembali pengukuran Gross Ton kapal sempat ditolak oleh syahbandar pelabuhan. “Kalau gak boleh, berarti ada sesuatu. Gampang saja,” kata dia.
Menurut Deddy, pemerintah provinsi akan melaporkan apa adanya soal hasil evaluasi yang dilakukan dua tahun ini. “Kita laporkan saja pada Kementerian terkait, dan tembusannya pada penegak hukum,” kata dia.
Pelaksana Tugas Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Johan Budi mengatakan, permasalahan yang didengarnya dalam pertemuan itu tidak berbeda dengan permasalahan yang muncul dua tahun lalu saat rapat perdana Gerakan Nasional Penyelamatan Sumberdaya Alam. “Problem yang disampaikan hampir sama. Yang jadi pertanyaan adalah kalau problem sama, di mana kehadiran negara,” kata dia di Bandung, Kamis, 17 September 2015.
Johan mencontohkan persoalan yang muncul diantaranya penegakan hukum, serta tidak sinkronnya aturan pusat dan daerah. “Tinggal berani atau tidak menindaknya,” kata dia.
Menurut Johan, tinggal soal ketegasan saja dalam pengelolaan sumber daya alam. “KPK tidak bisa menangani tindak pidananya. Kita bisa menangani dari sisi korupsinya. Kebanyakan berkaitan dengan Sumber Daya Alam itu korupsinya bermula dari pemberian izin,” kata dia.
Johan mengatakan, KPK sengaja mendekati permasalahan di sektor sumber daya alam itu lewat program pencegahan. “Ini salah satunya, ini dilakukan sejak 2014. Yang dilakukan KPK itu memotret pengelolaan sumber daya alam,” kata dia. Program itu misalnya menghasilkan rencana aksi yang disepakati bersama sejak awal 2015.
AHMAD FIKRI