TEMPO.CO, Yogyakarta - Rektor Institut Seni Indonesia Yogyakarta, Mukhamad Agus Burhan, mengatakan ISI Yogyakarta mengikuti ketentuan Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi pasca-pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). ISI pun mendukung opsi dosen dan pegawai perguruan tinggi negeri yang terlibat HTI keluar dari PNS.
“Kami ikuti ketentuan Kemenristek Dikti (terkait HTI), juga melakukannya sesuai prosedur dan norma,” kata Mukhamad Agus Burhan ketika dihubungi, Ahad, 23 Juli 2017.
Baca juga: Menteri Nasir Beri 2 Opsi kepada Dosen PTN yang Terlibat HTI
HTI dibubarkan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia berdasarkan Perpu Nomor 2 Tahun 2017, yang dikeluarkan Presiden. Dua opsi yang akan diusulkan Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi ditujukan kepada dosen dan pegawai perguruan tinggi negeri (PTN) yang terlibat HTI. Bagi yang tetap ingin di HTI harus keluar dari PNS, sedangkan yang keluar dari HTI tetap menjadi PNS.
ISI Yogyakarta merupakan kampus pertama yang mempersoalkan HTI jauh sebelum muncul Perpu Nomor 2 Tahun 2017. Di kampus itu terdapat sejumlah dosen yang berafiliasi dengan HTI yang menolak mengajarkan mata kuliah wajib menggambar manusia dengan alasan bertentangan dengan syariat Islam.
Rektor ISI Yogyakarta, Mukhamad Agus Burhan pernah mengeluarkan surat keputusan yang isinya melarang organisasi masyarakat dan partai politik di kampus pada Juni 2016. Surat Keputusan Rektor ISI ini muncul setelah gerakan menolak Hizbut Tahrir Indonesia di kampus oleh alumnus, mahasiswa, dan dosen ISI. Mereka sebelumnya menggelar orasi menolak HTI dan tadarus kebudayaan.
SK bertanda tangan rektor yang ditetapkan tanggal 16 Juni 2016 itu beredar di kalangan mahasiswa, alumni, dosen, dan pejabat rektorat ISI Yogyakarta. Kampus itu menembuskan SK ke Kementerian Riset dan Teknologi dan Direktur Jenderal Kemenristek di Jakarta.
Rektor melarang adanya kegiatan organisasi masyarakat, partai politik, maupun penyebaran ideologi yang bertentangan dengan visi misi perguruan tinggi seni nasional yang unggul, kreatif, dan inovatif berdasarkan Pancasila.
Di kampus itu setidaknya terdapat dua dosen Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta yang berafiliasi dengan HTI. Satu di antaranya adalah Aruman. Kepada Tempo, Aruman pernah mengatakan tak peduli terhadap gencarnya penolakan atas HTI di kampus ISI.
Menurut dia, kuliah anatomi plastis bertentangan dengan keyakinannya. ”Saya maunya yang sesuai dengan akidah,” kata Aruman. HTI menyatakan menggambar atau membuat figur makhluk hidup dua dimensi atau membuat patung tiga dimensi merupakan tashwiir. Menurut pemahaman HTI, tashwiir haram.
Aruman mengklaim 90 persen mahasiswa ISI merupakan muslim yang tidak diberi ruang mempertahankan keyakinannya. HTI ingin menerapkan keyakinan mahasiswa muslim di ISI. ”Itu kan bagian dari kebebasan,” ujarnya.
Aruman belum menjawab pertanyaan Tempo ihwal sikapnya terhadap dua opsi yang diusulkan Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi. Menurut Rektor ISI, Mukhamad Agus Burhan hingga saat ini belum ada sikap resmi dari dosen yang berafiliasi dengan HTI ihwal pengunduran diri sebagai dosen atau pernyataan keluar dari HTI.
SHINTA MAHARANI