TEMPO.CO, Jakarta - Mantan Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri era Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, Rizal Ramli, menduga kasus korupsi BLBI atau Bantuan Likuiditas Bank Indonesia terjadi karena beberapa faktor. Salah satunya adalah kesalahan pemerintah dalam mengambil kebijakan.
"Saya kira KPK masih dalam proses penyelidikan. Ada kemungkinan policy-nya yang salah, kebijakannya, tapi juga ada kemungkinan pelaksanaan yang salah," kata Rizal setelah diperiksa dalam dugaan korupsi BLBI di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Selasa, 2 Mei 2017.
Baca: Kasus Korupsi BLBI, KPK Periksa Rizal Ramli
Kebijakan pemberian BLBI saat krisis pada 2002 dikeluarkan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri melalui Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 tentang Pemberian Jaminan Jaminan Kepastian Hukum Kepada Debitur yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya atau Tindakan Hukum Kepada Debitur yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham.
Melalui Inpres tersebut, Bank Indonesia lalu menggelontorkan bantuan kepada 48 bank yang nyaris kolaps dengan jumlah mencapai Rp 147,7 triliun. Belakangan, KPK menangkap satu obligor yang diduga belum melunasi utang tapi telah mendapatkan surat keterangan lunas (SKL).
Rizal Ramli mencontohkan kesalahan pengambilan kebijakan hingga menyebabkan kerugian negara seperti yang terjadi dalam kasus Bank Century. Pada kasus ini, bank melakukan penyelamatan dengan meminjami uang dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sebesar Rp 6,76 triliun karena dianggap sebagai bank gagal. Padahal pada kenyataannya, bank masih bisa beroperasi dan tidak berdampak sistemik.
Baca: Kasus BLBI, Syafruddin Tumenggung Dituding Paksakan Status Lunas
Walau begitu, Rizal tak mau berkomentar apakah kesalahan pengambilan kebijakan dalam pemberian BLBI sama dengan pengambilan kebijakan pada Bank Century. "Dalam kasus Century, kebijakannya yang salah, sengaja memang mau merampok uang negara. Dalam kasus BLBI ini, dalam Inpres ini, tanya sama KPK saja," ujarnya.
Dalam kasus dugaan korupsi BLBI, KPK telah menetapkan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional 2002 Syafruddin Tumenggung sebagai tersangka. Ia diduga menerbitkan SKL ke Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI).
Padahal hasil restrukturisasi menyebut baru Rp 1,1 triliun yang ditagihkan kepada Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham pengendali BDNI. Sehingga ada kerugian negara Rp 3,7 triliun karena ada kewajiban obligor yang belum ditagihkan.
Baca: Kasus Korupsi BLBI, KPK: Kerugian Negara Rp 3,7 Triliun
Rizal menduga ada lebih dari satu obligor yang mendapat SKL meskipun belum melunasi utangnya. "Ada beberapa obligor yang belum melunasi kok diberi keterangan lunas," katanya. "Banyak dari mereka yang justru setelah krisis 19 tahun makin hebat, makin makmur. Penuhi dong kewajiban kepada pemerintah Republik Indonesia."
MAYA AYU PUSPITASARI