TEMPO.CO, Pontianak - Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yembise meminta pelaku kejahatan terhadap anak dijerat menggunakan hukuman maksimal. Pernyataan ini disampaikan Yohana saat menanggapi kasus pedofilia yang semakin sering terjadi. "Kalau korbannya mati, pelakunya juga harus (dihukum) mati," kata Yohana seusai acara dialog dengan Forum Anak Kalimantan Barat, Selasa, 21 Maret 2017.
Yohana mencontohkan kejahatan seksual terhadap anak yang terjadi di Sorong, Papua. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak secara aktif memantau proses hukum yang ditangani kejaksaan. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak Sudah mulai diimplementasikan.
"Pelaku kejahatan anak bisa dihukum 10 sampai 15 tahun, bahkan bisa dihukum seumur hidup sampai hukuman mati," kata dia. Regulasi yang telah dibuat pemerintah ini akan lebih baik jika masyarakat ikut berperan dengan melakukan pengawasan dan pelaporan.
Yohana mengatakan beberapa kasus pedofilia yang pernah dia jumpai berawal dari rasa penasaran untuk berhubungan intim dengan anak kecil. Dorongan tersebut tumbuh setelah melihat adegan seks melalui internet.
Baca: Pedofilia Online, KPAI Minta Facebook Punya Patroli Internal
Karena itu, Yohana meminta orang tua secara aktif memantau perkembangan anak. Sebuah keluarga yang dibangun pasangan suami-istri yang cukup secara mental dan pendidikan mumpuni akan menghasilkan anak-anak yang pintar.
"Rata-rata keluarga yang nikah di usia dini kurang memperhatikan anak-anaknya karena tidak punya ilmu cukup atau mental yang belum siap," ujarnya. Saat ini, banyak masalah sosial berawal dari kegagalan pembinaan keluarga. Kegagalan pembinaan keluarga dapat menimbulkan berbagai dampak sosial, ekonomi, dan hukum.
Dalam kunjungannya ke Pontianak, Yohana juga memuji keberadaan Forum Anak Kalimantan Barat. "Kalian harus menjadi pengawas dan pelapor kasus-kasus yang terkait dengan anak," ucapnya. Pendekatan kepada anak diharapkan dapat menjembatani masalah komunikasi terkait dengan kasus-kasus anak.
Adapun Forum Anak Kalimantan Barat telah membangun pusat informasi konseling remaja. Bahkan beberapa anggotanya menjadi konselor. Zakaria Anshari, 16 tahun, dari Forum Anak Kota Pontianak, mengatakan kebanyakan persoalan yang menjadi bahan 'curhat' adalah masalah dengan guru di sekolah, pekerja anak, atau keluarga.
"Seperti ada yang menyampaikan laporan bahwa terdapat kasus pekerja anak. Dia terpaksa bekerja sebagai pembantu agar disekolahkan oleh keluarga yang ditumpanginya," kata dia.
Di Kota Pontianak, kasus-kasus yang disampaikan khas kasus masyarakat urban. Biasanya, advokasi yang dilakukan adalah pendekatan dengan si anak dan memberikan masukan mengenai hak-hak anak. Pontianak memiliki banyak anggota forum anak, yang jumlahnya mencapai 2-000-an.
Lain halnya dengan masalah anak di daerah pedalaman. Markus Peri Anggara, 16 tahun, Presiden Forum Anak Kalimantan Barat, mengatakan anak yang dipekerjakan dalam keluarga sangat jamak. "Biasanya, mereka harus bolos untuk ikut berladang. Mereka tidak punya pilihan lain karena orang tua tidak mampu membayar orang upahan," tuturnya.
Tak hanya itu, pernikahan dalam usia anak pun masih banyak terjadi. Hal ini karena orang tua tidak mampu membiayai pendidikan anaknya. Si anak juga tidak mempunyai pilihan karena tidak pernah mendapatkan pandangan mengenai pentingnya pendidikan. "Karena itu, setiap bulan, temuan-temuan ini kami rangkum dan langsung diambil langkah untuk pendekatan," ujarnya.
ASEANTY PAHLEVI