TEMPO.CO, Yogyakarta - Peneliti Universitas Gadjah Mada Yogyakarta menyebut praktek intoleransi di Daerah Istimewa Yogyakarta semakin menguat.
Kelompok intoleran mendapat panggung untuk menjalankan aksinya dan memanfaatkan momentum politik. Penolakan Camat Pajangan, Bantul, Yulius Suharta, hanya karena ia beragama Katolik menggambarkan ancaman terhadap keberagaman.
Peneliti Center for Religious dan Cultural Studies (CRCS) Universitas Gadjah Mada Yogyakarta (CRSCS), Samsul Maarif, mengatakan praktek intoleransi sangat mengkhawatirkan di daerah yang punya julukan menjunjung toleransi. Penolakan Camat Pajangan, menurut dia, berkaitan dengan serangkaian kasus intoleransi yang terjadi sebelumnya. Dia mencontohkan desakan untuk mencopot baliho Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW).
“Intoleransi menyebar, tampaknya kelompok-kelompok itu mau masuk ke semua lini,” kata Samsul kepada Tempo, Senin, 16 Januari 2017.
Samsul berpandangan bahwa kelompok intoleran semakin mendapat panggung ketika negara membiarkan mereka. Kasus Camat Pajangan berhubungan dengan momentum pemilihan kepala daerah DKI Jakarta. Banyak orang yang gamang dan merembet ke Yogyakarta.
Praktek itu cepat menyebar di Yogyakarta karena kelompok intoleran di daerah ini menampakkan eksistensinya. “Pelaku intoleransi kelompok itu-itu saja,” ujarnya.
Yogyakarta, kata Samsul, juga dikenal sebagai daerah yang menerima semua kalangan sejak era reformasi bergulir. Di daerah ini, kelompok intoleransi berkembang pesat. Ada banyak kelompok sektarian yang bermunculan. Kelompok intoleran, menurut Samsul, akan terus ada di tengah demokrasi.
Untuk mengatasi persoalan ini, setiap kepala daerah perlu berkomitmen pada kebinekaan dan kebangsaan sebagai pijakan. Untuk kasus Camat Pajangan, Bupati Bantul harus punya sikap yang tegas menjaga kebinekaan. Bila tidak, dia akan mendapat sorotan publik. Aparat kepolisian juga punya kewenangan untuk mengatasi kelompok intoleran dan berkomitmen terhadap kebinekaan. Ia menilai di Yogyakarta juga masih banyak kelompok yang kuat melawan praktek intoleransi.
SHINTA MAHARANI
Simak:
Pasal Penistaan Agama Dianggap Sudah Tidak Relevan
Bertemu Jokowi, Antropolog: Indonesia Darurat Kebhinnekaan