TEMPO.CO, Denpasar - Para muda-mudi yang tergabung dalam paguyuban Sekaa Teruna Teruni (STT) Bali Tolak Reklamasi Teluk Benoa menggelar Paruman Agung (rapat besar) terkait dengan penolakan reklamasi.
Panitia pelaksana Paruman Agung STT, Kadek Suardana, mengatakan, berdasarkan hasil verifikasi, STT yang tergabung berjumlah 214 STT dari sembilan kabupaten/kota di Bali. STT adalah perkumpulan muda-mudi yang bernaung dalam banjar di bawah desa adat.
"Rapat berlangsung selama delapan jam yang terbagi dalam dua sesi. Pada sesi pertama, kami membentuk struktur forum komunikasi, sekaligus nama paguyuban. Setelah itu, memilih koordinator umum untuk mempermudah komunikasi," katanya saat jumpa media di Desa Adat Sumerta, Denpasar, Minggu, 30 Oktober 2016.
Dia menambahkan, rapat itu juga membicarakan rencana kegiatan lanjutan. Kadek menuturkan pembentukan ini sekaligus menjadi penggerak desa adat di Bali yang belum mendeklarasikan penolakan reklamasi. "STT sudah menolak, tapi desa adat belum. Langkah strategis kami merangkul STT lain yang tercecer," tuturnya.
Adapun Koordinator STT Anak Agung Ngurah Anom Sanjaya mengatakan ada tujuh pernyataan sikap hasil paruman. Selain tentang konsistensi dan tuntutan pencabutan Peraturan Presiden Nomor 51 Tahun 2014, mereka meminta aparat menghentikan intimidasi dan kriminalisasi terhadap gerakan Bali Tolak Reklamasi (BTR).
"Saat ini, gerakan perlawanan terus digembosi dengan berbagai upaya karena penolakan semakin membesar dan meluas," ujarnya.
Agung Krisna, 23 tahun, dari STT Susila Dharma, Desa Adat Kaliasem, Kabupaten Buleleng mengatakan para pimpinan desa adatnya belum menyatakan penolakan. Namun, dia berharap pembentukan paguyuban ini bisa membagi informasi tentang dampak reklamasi Teluk Benoa yang merugikan Bali.
"Pendekatan sudah ada, memang agak susah. Masyarakat dan bendesa adat kami kurang paham (tentang reklamasi)," katanya.
BRAM SETIAWAN