TEMPO.CO, Jakarta - Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia menyetujui wacana pemerintah hendak menaikkan harga rokok menjadi Rp 50 ribu per bungkus. "Saya kira memang harga rokok harus ditingkatkan," kata Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi, Minggu, 21 Agustus 2016.
Tulus menilai harga tersebut sudah cukup rasional untuk membatasi tingkat konsumsi, terutama bagi kelompok rumah tangga miskin, karena pemberlakuan harga mahal akan sangat terasa buat mereka.
Tulus menuturkan data Badan Pusat Statistik setiap tahun menunjukkan pemicu kemiskinan di rumah tangga miskin adalah beras dan rokok.
Ia berasumsi konsumsi rokok pada rumah tangga miskin akan menurun karena tidak mampu membelinya. Hal itu dapat berdampak pada kesejahteraan dan kesehatan karena anggaran untuk membeli rokok bisa dikonversikan untuk membeli bahan pangan.
Tulus mengungkapkan, ada banyak manfaat bagi negara dan masyarakat bila harga rokok mahal diterapkan. Salah satunya meningkatkan pendapatan cukai hingga 100 persen. Apalagi, menurut dia, saat ini cukai dan harga rokok di Indonesia tergolong terendah di dunia.
"Di luar negeri bisa Rp 150 ribu. Rokok seharusnya dijadikan kebutuhan tersier, barang mewah. Tapi di kita malah primer. Itu kesalahan besar," ujarnya.
Penerapan harga rokok yang mahal, Tulus berujar, tidak akan serta-merta menghentikan konsumsi, tapi bisa menekan laju pertumbuhan jumlah perokok pemula. Paling tidak, kata dia, dalam 2-3 tahun ke depan pengaruhnya baru akan terasa.
Karena itu, Tulus berharap, seiring dengan penerapan harga rokok Rp 50 ribu per bungkus, pedagang tidak lagi menjual rokok secara eceran. Ia juga menyarankan pemerintah melarang izin perusahaan rokok beriklan.
FRISKI RIANA