TEMPO.CO, Semarang - Universitas Negeri Semarang (Unnes) melarang para mahasiswa menggelar demonstrasi di lingkungan kampus. Larangan itu tercantum dalam nota kesepakatan yang ditandatangani Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan Unnes Bambang Budi Raharjo dan Presiden Mahasiswa Unnes Akhmad Fauzi.
“Apabila mahasiswa masih melakukan aksi demonstrasi, Presiden Mahasiswa diberhentikan dari jabatannya dan selebihnya menjadi tanggung jawab pribadi yang mengikat administrasi dan hukum,” demikian salah satu poin isi kesepakatan yang salinannya diperoleh Tempo, Senin, 8 Agustus 2016.
Dalam nota kesepakatan tertanggal 30 Mei 2016, selain ancaman pencopotan Presiden Mahasiswa, tiga poin adalah Presiden Mahasiswa Unnes sepakat tidak lagi berdemonstrasi di dalam kampus Unnes. Jika ada demonstrasi, aksi itu menjadi tanggung jawab Presiden Mahasiswa sepenuhnya. Poin berikutnya menyebutkan, unsur mahasiswa dilibatkan dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan yang berkaitan dengan kesejahteraan mahasiswa.
Wakil Rektor Unnes Bambang Budi Raharjo membenarkan adanya kesepakatan larangan mahasiswa berunjuk rasa di kampusnya. “Silakan unjuk rasa tapi tidak di lingkungan kampus Unnes,” kata Bambang. Larangan unjuk rasa ini bertujuan agar situasi dan kondisi kampus kondusif untuk proses belajar-mengajar.
Bambang tak setuju jika larangan unjuk rasa ini disebut memberangus kebebasan berekspresi mahasiswa. Sebab, pengelola Unnes mendorong agar mahasiswa menyampaikan aspirasinya melalui dialog dan diskusi. “Menyampaikan aspirasi tidak harus demo. Kami siap berdialog dengan mahasiswa kapan dan di mana pun,” kata Bambang. Ia menambahkan, unjuk rasa adalah jalan terakhir dalam menyampaikan aspirasi.
Bambang khawatir mahasiswa yang berdemonstrasi di kampus justru melakukan tindakan tak baik. Ia mencontohkan, beberapa waktu lalu ada mahasiswa berunjuk rasa dan menurunkan bendera merah putih.
Presiden Mahasiswa Unnes Akhmad Fauzi mengakui dia terpaksa menandatangani kesepakatan tersebut. Nota kesepakatan itu dibuat setelah ribuan mahasiswa Unnes melakukan aksi demonstrasi di kampusnya pada 30 Mei 2016 untuk menolak kenaikan uang kuliah.
“Saya tidak mengetahui sebelumnya akan ada penandatanganan nota kesepahaman saat menjelang keputusan berlaku atau tidaknya SPI,” kata Fauzi. Ia mengakui belum terjadi diskusi yang cukup sebelum nota ini ditandatangani.
Namun, saat disodori nota kesepakatan itu, mahasiswa mengajukan tambahan satu poin, yakni keterlibatan mahasiswa dalam perumusan dan penentuan kebijakan yang terkait dengan kesejahteraan mahasiswa.
Fauzi menegaskan, jika Rektorat Unnes tak melibatkan mahasiswa dalam membuat kebijakan, nota kesepakatan ini akan batal. “Semua akan berjalan dengan berbagai kemungkinan, termasuk mahasiswa berdemonstrasi kembali,” katanya.
Menurut Fauzi, saat ini mahasiswa lebih mudah melaksanakan audiensi dan diskusi dengan pihak rektorat. Fauzi mengakui pihaknya merasa terbelenggu atas adanya nota kesepakatan ini. “Namun sejauh ini belum ada kondisi yang mengharuskan kami berdemo kemudian gagal karena larangan ini,” ucapnya.
ROFIUDDIN