TEMPO.CO, Sidoarjo - Jaksa penuntut umum kasus guru cubit siswa di Sidoarjo, Andrianis, membacakan tanggapan atas pembelaan penasihat hukum terdakwa (replik) di Pengadilan Negeri Sidoarjo, Kamis, 28 Juli 2016. Dalam repliknya itu, Andrias membacakan setidaknya tiga poin tanggapan atas pembelaan penasihat hukum terdakwa, Muhammad Samhudi.
Andrianis menilai kesaksian korban, teman korban, dan orang tua korban, yang sebelumnya dipertanyakan penasihat hukum terdakwa, sudah sesuai dengan prosedur. "Undang-undang membolehkan anak di bawah umur bersaksi di depan persidangan dengan syarat didampingi orang tua dan atas kemauan anak itu sendiri," katanya.
Perihal kesaksian orang tua korban yang tidak melihat sendiri kejadian, menurut Andrianis, orang tua korban melihat bekas kekerasan yang dilakukan terdakwa, yaitu memar di lengan kanan. "Dan menurut keterangan orang tua korban, ini adalah kejadian kali ketiga. Kejadian sebelumnya sudah dimaafkan."
Adapun terkait alat bukti visum yang dinilai penasihat hukum terdakwa tidak kredibel karena dilakukan oleh seorang perawat, Andrianis mengatakan visum yang dilakukan pada 8 Februari 2016 itu ditandatangani kepala puskesmas. Dalam visum itu disimpulkan terdapat luka memar di daerah lengan kanan akibat persentuhan dengan benda tumpul.
Sedangkan tentang akta perdamaian yang diajukan dalam persidangan, Adrianis mengatakan hal itu dapat meringankan hukuman terdakwa. Namun, kata dia, Undang-Undang Perlindungan Anak tidak mengenal adanya restorative justice sehingga persidangan tidak bisa dihentikan dengan adanya perdamaian tersebut. (Baca: Guru Cubit Siswa, Pengacara Pertanyakan Dakwaan Jaksa)
Menanggapi replik jaksa, Ketua Lembaga Konsultasi Bantuan Hukum Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Sidoarjo, HM Gufron, menyatakan tetap pada pembelaan penasihat hukum terdakwa. "Jaksa punya hak tetap sesuai dengan tuntutan. Kami juga sebaliknya, punya hak sesuai dengan pembelaan kami," katanya.
PGRI Sidoarjo tetap meminta majelis hakim membebaskan terdakwa karena proses penyidikan kasus ini tidak benar. Menurut Gufron, kejadian tanggal 3 Februari baru dilaporkan pada 8 Februari dan pada 11 Februari terdakwa sudah dinyatakan tersangka. Selain itu, visum hanya dilakukan oleh perawat, bukan oleh dokter forensik.
Pada sidang sebelumnya, jaksa penuntut umum mendakwa Samhudi, guru SMP Raden Rachmat, Balongbendo, melanggar Psal 80 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman kurungan penjara enam bulan, masa percobaan satu tahun, dan denda Rp 500 ribu subsider dua bulan penjara.
NUR HADI