TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengatakan proses pembebasan terhadap tujuh warga negara Indonesia yang disandera di Filipina dilakukan secara terpadu melalui crisis center di bawah Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan. Menurut Retno, dari hari ke hari, komunikasi dan koordinasi terus dilakukan pemerintah termasuk dengan pihak penyandera.
"Ketujuh ABK (anak buah kapal), walaupun terdengar lelah, masih dalam kondisi yang baik," kata Retno saat memberi pernyataan pers di kantornya, Jakarta, Senin, 11 Juli 2016.
Ia mengatakan para sandera masih terus berpindah-pindah dalam dua kelompok dan diperkirakan mereka selalu berada di sekitar Pulau Sulu, Filipina. Ia mengatakan informasi dan latar belakang mengenai kelompok penyandera sudah lebih jelas.
"Pada tanggal 1 Juli, yaitu pada hari pertama sejak administrasi baru pemerintah Filipina, saya berada di Manila untuk melakukan kerja sama bilateral dengan Menteri Luar Negeri Filipina," ujar Retno.
Dalam pertemuan itu, Retno menyampaikan surat Presiden Republik Indonesia kepada Presiden Filipina. Isi surat itu intinya menyampaikan ucapan selamat sekaligus harapan agar hubungan baik kedua negara dapat lebih ditingkatkan.
"Secara khusus, dalam surat, Presiden RI meminta perhatian khusus soal penyanderaan WNI," kata Retno. Ia mengatakan Presiden Joko Widodo juga berkomunikasi dengan Presiden Filipina pada 7 Juli lalu. Ia mengulangi lagi pesan dalam surat itu.
Penculikan tujuh WNI yang merupakan anak buah kapal Charles 001 dan kapal tongkang Robby 135 terjadi di perairan Sulu, Filipina. Penculikan terjadi dua tahap pada 20 Juni 2016, yaitu pukul 11.30 dan 12.45 waktu setempat.
Penculikan dilakukan dua kelompok berbeda. Salah satunya adalah kelompok Abu Sayyaf. Terakhir, tiga warga Indonesia juga diculik kelompok Abu Sayyaf di perairan Malaysia.
REZKI ALVIONITASARI