TEMPO.CO, Surabaya - Ahli waris pemilik rumah eks markas radio Bung Tomo di Jalan Mawar Nomor 10 Surabaya, Narindrani, 68 tahun, dan Tjintariani, 66 tahun, menuturkan hikayat rumah bersejarah itu. Keduanya merupakan anak dari pasangan Amin Hadi dan Nini Anila.
Amin Hadi lah yang membeli bangunan eks kolonial Belanda itu pada 1973 sehingga lahan itu milik keluarganya. Menurut Narindrani, rumah itu sebelumnya digunakan sebagai rumah dinas PNP, salah satu perusahaan pergulaan peninggalan zaman Belanda. Saat ini, PNP berubah nama menjadi PT Perkebunan Nusantara (PNPT).
Narindrani menjelaskan, ayahnya bekerja di perusahaan itu hingga jabatan direktur utama. “Karena ada kesempatan untuk membeli, maka Bapak beli rumah itu atas izin dari Menteri Pertanian,” katanya saat ditemui Tempo di rumahnya, di Gayungsari Barat III Nomor 114, Surabaya, Senin, 16 Mei 2016.
Setelah resmi dibeli, pada tahun itu pula Amin mengurus surat kepemilikan hingga ke kantor pusat PNP di Belanda. Amin kemudian mendaftarkannya ke Badan Pertanahan Nasional (BPN). Itu sebabnya Narindrani memastikan ayahnya membeli rumah itu secara resmi dan dilengkapi surat-suratnya.
Sang adik, Tjintariani, menjadi saksi hidup, karena mengantarkan ayahnya mengurus surat-suratnya ke Belanda. Keluarga besar mereka pun menempati rumah itu. Bahkan, untuk lebih melegalkan rumah tersebut, Amin mengurus izin mendirikan bangunan (IMB) pada 1975 dan mendapatkannya.
Pekan lalu, Kepala Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Pemerintah Kota Surabaya Eri Cahyadi mengakui IMB atas nama Amin masih terdokumentasi di Dinas yang dipimpinnya. “Bangunan di Jalan Mawar Nomor 10 itu mendapatkan IMB pada 1975, itu pertama kalinya,” katanya saat jumpa pers di kantor Hubungan Masyarakat Pemerintah Kota Surabaya.
Dengan berjalannya waktu, Narindrani dan Tjintariani menikah dan tinggal di rumah yang berbeda. Sedangkan rumah di Jalan Mawar hanya ditempati Amin dan istrinya.
Pada 1996, rumah Amin ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya oleh Pemerintah Kota Surabaya. Amin dan istrinya tidak tahu asal muasal kenapa bangunan itu dijadikan cagar budaya. “Saat itu langsung dipasang plakat di dinding dan di halaman dekat pagar,” ucap Narindrani.
Walaupun itu bangunan cagar budaya, sebagian kamar digunakan sebagai tempat kost. Pada saat Amin meninggal pada 1985, dan istrinya juga meninggal pada 2006, rumah itu tetap dijadikan tempat kost.
Pada awal 2015, Narindrani dan Tjintariani berencana menjual rumah itu. Surat izin penjualan pun diurusnya hingga akhir 2015. “Pada Desember 2015, rumah itu sudah dibeli Pak Beng (pemilik PT Jayanata),” tutur Narindrani.
Pada Desember 2015, PT Jayanata mengajukan permohonan IMB. Pada Februari 2016 mengajukan izin renovasi, dan rekomendasinya baru keluar pada Maret 2016. Namun, Narindrani mengaku sejak rumah itu pindah tangan pada Desember 2015, keluarganya tidak tahu sama sekali proses yang terjadi atas rumah itu hingga dirobohkan. “Kami baru tahu dari media bahwa bangunan itu dirobohkan,” ujarnya.
MOHAMMAD SYARRAFAH