TEMPO.CO, Yogyakarta - Ratusan buruh yang bekerja di sektor informal, yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Pekerja Yogyakarta, menuntut perlindungan terhadap hak pekerja dan pemenuhan jaminan sosial BPJS. Mereka di antaranya buruh rumahan dan pekerja rumah tangga.
Demonstran berjalan dari taman parkir Abu Bakar Ali Yogyakarta dan berakhir di Titik Nol, untuk memperingati Hari Buruh Sedunia atau May Day. Orator Serikat Pekerja Rumah Tangga Yuli Maheni menghitung pekerja rumah tangga saat ini berjumlah 10,7 juta orang dan tanpa perlindungan. Mereka tidak mendapatkan jaminan sosial, mendapatkan kekerasan fisik, psikis, dan ada yang mendapatkan kekerasan seksual.
Sedangkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga yang diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat sejak tahun 2004 hingga kini belum disahkan. "Kami meminta kebijakan itu segera disahkan demi perlindungan terhadap pekerja rumah tangga," kata Yuli, Ahad, 1 Mei 2016.
Selain meminta perbaikan kesejahteraan pekerja rumah tangga, demonstran meminta adanya perlindungan terhadap perempuan buruh rumahan. Di Yogyakarta, buruh rumahan banyak bergerak di sektor usaha kecil menengah. Ada yang bekerja sebagai perajin tas.
Mereka mengerjakan kerajinan di rumah tanpa kesepakatan perjanjian kerja secara tertulis antara pemilik usaha dan buruh. Buruh rumahan tak punya posisi tawar, mendapat upah rendah jauh di bawah upah minimum provinsi. Selain itu, mereka tak punya jaminan keselamatan kerja dan jaminan sosial seperti BPJS.
Nasib serupa juga dialami buruh gendong di antaranya di Pasar Beringharjo dan Giwangan. Mereka belum diakui sebagai pekerja secara formal oleh pemerintah. Padahal mereka punya beban kerja yang berat.
SHINTA MAHARANI