TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Markas Besar Kepolisian RI Inspektur Jenderal Anton Charliyan mengatakan tak ada pelanggaran hak asasi manusia dalam penembakan mati terduga teroris di lapangan. Biasanya, ucap dia, terduga teroris yang tewas ditembak anggota Detasemen Khusus 88 Antiteror itu melakukan perlawanan.
"Kalau anggota dipukul, masak diam saja? Apa mau mati konyol?" ucapnya di Rupatama Mabes Polri, Selasa, 15 Maret 2016. "Di negara lain, yang menghalangi jalannya militer itu ditembak."
Anton menegaskan, tak ada upaya mematikan terduga teroris. Bila dalam proses penangkapan ada terduga teroris yang tewas, itu murni kecelakaan. Polri, ujar Anton, justru merasa dirugikan saat terduga teroris tewas sebelum dimintai keterangan.
"Keterangan mereka sangat kami butuhkan untuk perkembangan penyidikan. Kalau kami berniat mematikan, sudah kami buang mayatnya," tuturnya.
Sebelumnya, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mencatat, kepolisian telah melanggar standar operasional prosedur penanganan terduga tindak pidana terorisme. Sejak 2003, Komnas HAM mencatat, kepolisian, termasuk Densus 88, telah menembak mati 118 terduga terorisme.
“Beberapa mungkin memang terkait dengan kelompok teror, tapi yang lainnya polisi bahkan tak punya cukup bukti keterlibatan mereka,” kata Ketua Bidang Pemantauan Komnas HAM Natalius Pigai.
Komnas HAM juga mencatat, ada sekitar 700 terduga teroris yang mengalami kekerasan dan penyiksaan selama menjalani proses hukum di kepolisian. Tindakan ini kerap dilakukan polisi yang menangkap langsung para terduga hingga pengiriman ke tingkat kepolisian daerah.
DEWI SUCI RAHAYU | FRANSISCO ROSARIANS