TEMPO.CO, Jakarta - Di mana posisi Sutomo saat Pertempuran 10 November berkecamuk? Pertanyaan itu selalu dilontarkan Tempo kepada narasumber selama menyusun "Edisi Khusus Hari Pahlawan Bung Tomo Soerabaja di Tahun 45", yang terbit Senin, 9 November 2015.
Wajar jika banyak orang menanyakan hal itu. Sebab, Bung Tomo, dalam pose orasinya, menjadi ikon Hari Pahlawan. Pendek kata, ingat Hari Pahlawan, ingat Bung Tomo. Namun, selama sebulan menggali bahan, tidak ada keterangan yang pasti.
"Dia di tengah pertempuran, bersama laskar," kata Bambang Sulistomo, putra Bung Tomo. Laskar yang dia maksud adalah Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia, yang Sutomo bentuk pada 12 Oktober 1945. Anggotanya adalah rakyat kecil, seperti tukang becak dan penjual soto. Namun Bambang tidak menjelaskan posisi tempur mereka di mana. "Mungkin di markas mereka di Jalan Biliton."
Baca juga:
Bung Tomo: Pekik Allahuakbar hingga Kritik Sukarno & Mahasiswi Nakal
Delea Mahasiswa UNJ Terakhir Bertemu dengan Lelaki Gemuk
Dalam Bung Tomo, Dari 10 Nopember 1945 ke Orde Baru—kumpulan karangan yang terdiri atas 425 halaman, Sutomo sendiri tidak menceritakan detail serangan Sekutu yang menewaskan sampai 16 ribu warga Surabaya itu.
Jawaban baru muncul saat Tempo membalik-balik halaman Revolt in Paradise karangan K'tut Tantri. Seniman kelahiran Amerika Serikat yang lama tinggal di Bali itu berada di Surabaya saat Sekutu membombardir Surabaya. Lepas dari tahanan Jepang—perempuan berdarah Skotlandia itu dituduh mata-mata, K'tut bergabung dengan Barisan Pemberontakan sebagai penyiar Radio Pemberontakan, khusus siaran berbahasa Inggris.
K'tut, saat itu 47 tahun, bertahan di studio Radio Pemberontakan di Jalan Mawar di tengah Surabaya sampai 14 November 1945, sebelum mengungsi ke selatan. "Saat itu Bung Tomo sudah pindah ke Malang dan siaran dari sana," ujar K'tut dalam bukunya. "Surabaya tidak aman bagi dia karena Sekutu telah menjanjikan hadiah besar untuk orang yang menangkapnya."
Dari Malang, pekikan Bung Tomo tidak berhenti berkumandang. Pidatonya diputar berulang-ulang. Terdengar tidak hanya di Surabaya, tapi sampai ke Yogyakarta dan Jakarta. "Darah pasti banyak mengalir. Jiwa pasti banyak melayang. Tetapi pengorbanan kita ini tidak akan sia-sia, Saudara-saudara. Anak-anak dan cucu-cucu kita di kemudian hari, insya Allah, pasti akan menikmati segala apa hasil daripada perjuangan kita ini," tuturnya pada 10 November.
REZA MAULANA
Baca juga:
Hijaber Cantik UNJ Tewas, Ini Alasan Delea ke Bandung
Bung Tomo: Pekik Allahuakbar hingga Kritik Sukarno & Mahasiswi Nakal