TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Energy Watch Indonesia Ferdinand Hutahaean mengapresiasi kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Meski sedang didera pelemahan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tetap bekerja, salah satunya berhasil menangkap tangan politikus Partai Hanura, Dewie Yasin Limpo.
"Walaupun belum bisa maksimal dan belum kembali kepada akselerasi yang baik dalam pemberantasannya," katanya saat dihubungi di Jakarta, Jumat, 23 Oktober 2015. Dewi Yasin Limpo ditangkap terkait dengan temuan kasus suap proyek Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) di Deiyai, Papua.
Menurut Ferdinand Hutahaean, ada beberapa kasus yang menyangkut pembangkit listrik di daerah Papua dengan skala mini maupun mikrohidro. Papua menjadi salah satu daerah tujuan koruptor. "Karena Papua jauh dari pantauan Jakarta dan memang rendah akuntabilitas," kata Ferdinand.
Dia berharap, jangan sampai kasus ini menghambat pertumbuhan listrik di Papua, dan membuat rencana potensi PLTMH di Papua jadi terbengkalai. Berdasarkan data yang dimiliki EWI, terdapat 52 lokasi potensi PLTMH di Papua. "Kasus ini tentu akan menghambat dan memperlambat proses pemenuhan listrik bagi daerah papua," ujarnya.
Dewie Yasin Limpo tertangkap tangan oleh KPK karena diduga menerima besel terkait dengan proyek pengembangan pembangkit listrik tenaga mikrohidro Papua, Selasa, 20 Oktober 2015. Selain Dewie, KPK juga menetapkan sekretaris pribadi Dewie, Rinelda Bandaso, dan staf ahli Dewie, Bambang Wahyu Hadi, sebagai tersangka.
Dewie beserta anak buahnya tersebut dijerat sebagai penerima suap sehingga dianggap melanggar Pasal 12 a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dua tersangka lainnya adalah Kepala Dinas Pertambangan Kabupaten Deiyai, Iranius, dan seorang pengusaha, Septiadi. Keduanya merupakan pemberi suap sehingga dijerat Pasal 5 ayat 1 huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
INGE KLARA SAFITRI