TEMPO.CO, Banda Aceh - Qanun (Peraturan Daerah) Jinayat Aceh yang disahkan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) mulai berlaku hari ini Jumat, 23 Oktober 2015. Dinas Syariat Islam Aceh bersama Dinas Syariat Islam Kota Banda Aceh menggelar sosialisasi jelang efektifnya Qanun Nomor 6 Tahun 2014 itu, di Aula Balai Kota Banda Aceh, Kamis 22 Oktober 2015.
Dengan tema “Melalui Sosialisasi Qanun Dinul Islam, Kita Tingkatkan Kesadaran Hukum Syariat di Bumi Serambi Mekkah,” acara dibuka oleh Wakil Wali Kota Banda Aceh, Zainal Arifin.
Baca juga:
Wakil Ketua Mahkamah Syariat Aceh, M Jamil Ibrahim mengatakan Banda Aceh menjadi kota terakhir yang dipilih pihaknya untuk sosialisasi qanun jinayat. “Jumat (23 Oktober), qanun jinayat resmi efektif berlaku di seluruh Aceh,” katanya.
Dia berharap, dengan sosialisasi akan adanya pemahaman yang mendalam dari para peserta tentang Qanun Jinayat untuk kemudian disampaikan lagi kepada masyarakat luas.
Terkait adanya protes dan keinginan sejumlah pihak untuk melakukan judicial review terhadap qanun yang menjadi payung hukum pelaksanaan Syariat Islam di Aceh ini, Munawar mempersilahkannya. “Ya silahkan saja, tapi yang jelas qanun ini tidak bersinggungan dengan hukum positif lainnya yang berlaku di Aceh dan juga tidak melanggar HAM.”
Qanun Jinayat merupakan amanat undang-undang, salah satunya tercantum dalam Undang Undang nomor 6 tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh (UUPA) yang mengamanatkan syariat Islam meliputi seluruh aspek, termasuk jinayah. “Jika tidak kita terapkan, malah kita yang melanggar hukum,” M Jamil.
Sementara itu, Wakil Wali Kota Zainal Arifin mengatakan, pihaknya terus berupaya melakukan pembenahan-pembenahan dalam segala bidang, termasuk bidang Syariat Islam. “Penerapan Syariat Islam harus benar-benar diarahkan untuk melahirkan kesadaran masyarakat untuk mengamalkan Syariat Islam dalam semua aspek kehidupan,” katanya.
Harapannya dengan mulai berlakunya Qanun Jinayat ini, penerapan Syariat Islam di seluruh Aceh semakin maksimal. Ada tiga variabel penting sehingga penerapan Syariat Islam dapat terwujud sesuai dengan harapan semua pihak. “Pertama, dibutuhkan kesadaran yang tinggi dari masyarakat untuk melaksanakan Syariat Islam; kedua, harus adanya political will pemerintah dan peran serta stakeholders; dan ketiga, secara bertahap atau gradualism.”
Qanun Jinayat Aceh disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) pada Sabtu dinihari, 27 September 2014 silam. Pada 23 Oktober 2014, Qanun diundangkan setelah ditandatangani Gubenur Aceh dan masuk dalam lembaran daerah. Di dalam qanun disebutkan efektif berlaku setahun kemudian.
Qanun Jinayat (pidana) mengatur tentang perbuatan yang dilarang syariat Islam dan tentang hukuman yang dijatuhkan hakim untuk pelaku. Perbuatan yang diatur di antaranya meliputi khamar (minuman keras), maisir (judi), khalwat (perbuatan tersembunyi antara dua orang berlainan jenis yang bukan mahram), ikhtilath (bermesraan antara dua orang berlainan jenis yang bukan suami istri), zina, pelecehan seksual, dan pemerkosaan. Selanjutnya juga qadzaf (menuduh orang melakukan zina tanpa dapat mengajukan paling kurang empat saksi), liwath (homo seksual) dan musahaqah (lesbian).
Hukuman yang diberikan kepada pelaku adalah hukuman cambuk atau denda berupa emas atau penjara. Banyaknya cambuk atau denda tergantung dari tingkat kesalahan. Paling ringan sepuluh kali atau denda 100 gram emas atau penjara 10 bulan dan paling berat adalah 150 kali atau denda 1.500 gram emas atau penjara 150 bulan.
Sebelumnya jenis pidana yang diatur dan dapat dihukum cambuk adalah khamar, maisir dan khalwat. Hukumannya pun paling tinggi hanya 40 kali cambukan. Umumnya dalam pelaksanaan selama ini, terhukum hanya mendapat maksimal 12 kali cambukan.
ADI WARSIDI