TEMPO.CO, Canberra - Konferensi Indonesia Update 2015 yang diselenggarakan Australian National University (ANU) di Canberra, Australia, 18-19 September 2015, secara khusus membahas isu tanah dan pembangunan di Indonesia.
Salah satu sesi yang membahas pentingnya distribusi tanah bagi upaya pemberantasan kemiskinan dan pengembalian kedaulatan rakyat diisi oleh Lesley Potter (ANU), Jeff Neilson (University of Sydney) dan Isono Sadoko (peneliti Akatiga, Bandung).
Potter secara khusus memaparkan hasil risetnya tentang perkebunan kelapa sawit di Sumatera dan Kalimantan. Dia menemukan 40 persen lahan kelapa sawit di Indonesia kini sudah menjadi milik petani plasma. Dari jumlah itu, 28 persen petani tidak lagi terkait dengan perusahaan besar. "Di Riau dan Jambi, bahkan 60 persen lahan sawit dikuasai petani kecil," katanya.
Patrick Anderson dari Forest Peoples Programme membenarkan adanya upaya pemerintah Jokowi untuk mencari solusi bagi masyarakat adat agar mereka tetap berdaulat atas tanahnya, tapi dimungkinkan menyewakan lahan tersebut untuk jangka waktu tertentu. "Sudah ada pembicaraan mengenai kemungkinan itu, meski masih awal," tuturnya merespons pertanyaan seorang peserta konferensi.
Sedangkan isu pertanian di pedesaan dan petani pemilik lahan kecil (small holder farmers) dibahas oleh Jeff Neilson (University of Sydney) dan Isono Sadoko (peneliti Akatiga, Bandung).
Riset Jeff Nielson menemukan bahwa jumlah petani Indonesia dan kontribusi sektor pertanian pada total pendapatan nasional kini terus menurun. Dia menilai pemerintah Jokowi gagal merespons banyaknya gerakan sosial yang menuntut redistribusi lahan melalui aksi-aksi sepihak.
"Tuntutan redistribusi dijawab dengan program legalisasi sertifikat tanah dan program transmigrasi," ucapnya menyesalkan. Padahal, kata Nielson, program transmigrasi yang memberikan transmigran lahan 2 hektare untuk diolah tidak banyak berhasil mengentaskan kemiskinan.
Di sisi lain, dalam penelitiannya di Jawa, Sulawesi, dan Lampung, Isono menemukan ada ketimpangan kepemilikan lahan yang cukup ekstrem di desa-desa. "Padahal mereka yang menguasai lahan biasanya memiliki pendapatan lebih besar," kata Isono. Untuk itu, dia mendorong pemerintah mengedepankan pola kepemilikan lahan secara kolektif di tingkat desa agar distribusi kepemilikan tanah bisa lebih merata.
WAHYU DHYATMIKA