TEMPO.CO, Yogyakarta - Gerakan Anak Negeri Anti-Diskriminasi melaporkan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta sekaligus Raja Keraton Ngayogyakarata, Sultan Hamengku Buwono X, ke Presiden Joko Widodo. Sultan dianggap membangkang peraturan negara soal tanah.
Sultan, menurut ketua gerakan yang berbasis di Yogyakarta itu, Willie Sebastian, berupaya menghidupkan kembali Hukum Kolonial (Rijksblad) Tahun 1918 Nomor 16 tentang Sultanaat Ground, dan Nomor 18 tentang Pakualamanaat Ground. Penerapan kedua beleid itu bermakna menolak Undang-Undang Pokok Agraria dan usaha menguasai tanah negara di wilayah Yogyakarta.
Sultanaat dan Pakualamanaat Ground merujuk pada Rijskblad sebelum masa kemerdekaan. “Itu berpotensi separatis di Yogyakarta,” katanya, Selasa, 15 September 2015.
Ia mengatakan pengambilalihan tanah negara itu terlihat dari proses sertifikasi tanah negara dalam kegiatan inventarisasi dan identifikasi tanah Kasultanan dan Pakualaman. Saat ini dua hal itu tengah gencar dilakukan pemerintah DIY. Ironisnya, proses sertifikasi itu menggunakan uang negara lewat dana keistimewaan.
Semestinya, ia melanjutkan, aturan itu tak berlaku lagi setelah pemerintah Indonesia menerbitkan Undang-Undang Pokok Agraria Tahun 1960. Apalagi, pada 1984, pemerintah DIY menerbitkan Peraturan Daerah Nomor 3 tentang pemberlakuan undang-undang itu secara penuh di wilayahnya. “Surat sudah kami kirim lewat pos kemarin,” ujarnya.
Pada 9 September lalu, pakar hukum tata negara asal Universitas Islam Indonesia, Ni’matul Huta, mengatakan proses pendataan tanah itu bertentangan dengan UU Pokok Agraria. “Ini menghidupkan kembali SG-PAG,” tuturnya. Padahal, dia melanjutkan, persoalan dua jenis tanah itu telah rampung pada 1984. “Selesai, dalam arti itu diatur menjadi milik negara.”
Adapun Sultan menyatakan UU Pokok Agraria tak berlaku sepenuhnya di Yogyakarta. “UUPA memang tidak sepenuhnya berlaku di Yogya,” ucapnya seusai pemasangan patok di kawasan Gumuk Pasir, Pantai Parangtritis, Bantul, Jumat pekan lalu.
Senin kemarin, setelah menghadiri rapat paripurna tentang APBD Perubahan 2015, Sinuhun kembali bicara tentang tanah keraton. Ia mengatakan masyarakat yang menggunakan tanah keraton harus mendapat izin.
ANANG ZAKARIA