TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat menyatakan mendukung pelaksanaan program pendewasaan usia perkawinan (PUP). PUP merupakan program yang lahir karena banyaknya masalah pendidikan dan kesehatan yang disebabkan oleh perkawinan usia dini.
Di sektor kesehatan, perkawinan usia dini meningkatkan jumlah kematian ibu dan anak, kekerasan dalam rumah tangga, serta masalah lain.
Gubernur NTB Muhammad Zainul Majdi mengatakan kaum perempuan di NTB harus berpikir matang-matang sebelum memutuskan menikah. Menurut dia, kondisi lahir dan batin calon pengantin harus benar-benar siap, karena sulit membangun keluarga yang baik pada usia dini.
"Perlu kematangan emosional, psikis, dan fisik," kata Zainul Majdi, yang juga Ketua Umum Nahdlatul Wathan–organisasi pendidikan, sosial, dan dakwah Islami terbesar di NTB.
Ia mengemukakan hal itu sewaktu menerima Christine Chambom dari Deutsche Gesellschaft Für International Zusammenarbeit (GIZ) bersama Kepala Badan Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (BP3AKB) Provinsi NTB T. Wismaningsih dan Dian Adriani dari Yayasan Tunas Alam Indonesia, Senin, 22 Juni 2015.
Sebelumnya, Gubernur Zainul menerbitkan surat edaran nomor 150/1138/Kum tentang PUP yang merekomendasikan usia perkawinan untuk laki-laki dan perempuan minimal 21 tahun. Surat edaran ini diterbitkan untuk mendorong seluruh satuan kerja perangkat daerah serta bupati/wali kota se-NTB melaksanakan program PUP sesuai dengan tugas dan tanggung jawab masing-masing. ’’Perlu adanya komunikasi dan koordinasi untuk membahas masalah usia perkawinan ini,’’ ujarnya.
Menurut Zainul, dalam Islam memang tidak ada batas umur seseorang untuk menikah. Dalam literatur keislaman, kata dia, pemuda yang sudah mampu menikah boleh menikah. Adapun program PUP dilaksanakan agar perempuan Indonesia bisa mendapatkan hak mencapai usia matang sebelum menikah.
Wismaningsih mengatakan pihaknya sudah mengubah metode untuk mengajak masyarakat menghindari pernikahan usia dini. Di antaranya lewat dialog dengan warga serta sosialisasi di sekolah yang digelar melalui kerja sama dengan forum remaja serta dukungan dari GIZ. "Selanjutnya, perlu bantuan Gubernur untuk koordinasi dengan ulama di NTB,” ucapnya.
Christine Chambom memberikan apresiasi terhadap Provinsi NTB karena merupakan provinsi pertama yang berani mengeluarkan peraturan tentang pendewasaan usia perkawinan. "Semoga program ini dapat menjadi contoh untuk daerah lain di Indonesia,’’ katanya.
BP3AKB, GIZ, dan Yayasan Tunas Alam Indonesia sedang dalam proses pembuatan dokumen buku PUP serta 2 film dokumenter tentang inovasi yang dikembangkan di NTB. “Statement dari Pak Gubernur sangat kuat untuk mendorong strategi baru,” ujar Dian Aryani.
Setengah pernikahan di NTB dilakukan pasangan usia dini atau belum dewasa. Menurut hasil riset yang diperoleh Pemerintah Provinsi NTB, 50 persen pernikahan dilakukan pasangan berusia 15-18 tahun. Karena itulah Gubernur Zainul mengeluarkan surat edaran.
Sementara sebelumnya NTB memberlakukan penundaan usia pernikahan, sekarang pemerintah provinsi itu melaksanakan program pendewasaan usia perkawinan. Secara umum, perkawinan usia dini disebabkan oleh beberapa faktor, seperti pendidikan, ekonomi, lingkungan, dan sosial budaya.
Pada 26 Maret 2015 berlangsung lokakarya tentang pendewasaan usia perkawinan yang diselenggarakan BP3AKB Provinsi NTB, yang bekerja sama dengan GIZ dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
Lokakarya tersebut digelar untuk mendorong program pendewasaan usia perkawinan sesuai dengan hasil rekomendasi seminar Tim Penggerak Pembinaan Kesejahteraan Keluarga NTB pada 2014, yaitu usia minimal 21 tahun bagi laki-laki dan perempuan untuk menikah.
SUPRIYANTHO KHAFID