TEMPO.CO, Makassar - Buronan teroris Poso, Ambo Ece, 35 tahun, yang ditangkap di Bulutironge, Kecamatan Pitumpanua, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan, Selasa, 21 April 2015, diketahui sebagai petani. Anak buah Santoso dan Daeng Koro itu berbaur layaknya masyarakat biasa.
Namun, tim Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror yang telah memburu Ambo Ece lebih jeli dan berhasil menangkapnya hidup-hidup. "Dia (Ambo Ece) seperti masyarakat biasa. Dia petani," kata Kepala Kepolisian Daerah (Polda) Sulawesi Selatan dan Barat, Inspektur Jenderal Anton Setiadji, Rabu, 22 April 2015.
Anton menerangkan Ambo Ece diringkus dalam pelariannya ke kampung halaman istrinya, tepatnya di Bangsalae, Kecamatan Pitumpanua, Kabupaten Wajo. Buronan kasus terorisme itu diketahui belum lama kembali ke Wajo. "Baru sekitar satu sampai dua hari, lalu ditangkap," tutur Anton.
Anton mengatakan keterlibatan Ambo Ece dalam aksi terorisme cukup jelas. Ambo Ece bergabung dengan Mujahidin Indonesia Timur dan mengikuti sejumlah pelatihan ala militer. Bahkan, Ambo Ece terlibat pembunuhan dua anggota Polres Poso, Ajun Inspektur Satu Sudirman dan Brigadir Andi Sapa di Tamanjeka, Poso, beberapa waktu lalu.
Dalam latihan ala militer dari kelompok teroris Poso, Ambo Ece diduga berperan sebagai pelatih bela diri, masing-masing di Walenrang, Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan pada 2011 dan di Tamanjeka, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah pada 2012. Ambo Ece juga diperintahkan mengirim uang ke Poso untuk kepentingan teror.
Disinggung soal barang bukti kejahatan terorisme dari Ambo Ece, Anton menyebut adanya di Poso tanpa merincinya. "Yang bersangkutan kan dalam pelarian. Penangkapannya ini juga adalah pengembangan (kasus)," ujar bekas Kepala Polda Bangka Belitung ini.
Anton menyampaikan Ambo Ece yang dibekuk di Wajo telah diterbangkan ke Jakarta. Tim Densus 88 akan melakukan pemeriksaan lanjutan dan pendalaman mengenai jaringan teroris Poso. "Sudah dibawa ke Jakarta kemarin (Selasa, 21 April)," ucap Anton.
Wakil Koordinator Badan Pekerja Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Sulawesi, Nasrum, meminta kepolisian bersikap transparan dalam penanganan kasus terorisme. Jangan sampai, akses keluarga terputus ke tersangka pasca-penangkapan Densus 88. Terlebih, bila yang bersangkutan telah dibawa ke Jakarta.
Transparansi penanganan perkara terorisme, menurut Nasrum, amat penting agar masyarakat, khususnya keluarga tahu keterlibatan tersangka. Dengan begitu, tak ada prasangka buruk tentang kinerja aparat. Selama ini, beberapa teroris yang ditangkap di Sulawesi Selatan, tak diketahui bagaimana proses hukum maupun perkembangan kasusnya usai dibawa ke Jakarta.
TRI YARI KURNIAWAN