Saya minta Izzat duduk di pangkuan saya, di sisi dua tangan saya yang diborgol. Daniel duduk di kanan, Victor di kiri kami. Di jalan, saya seolah berkata kepada anak saya tentang prosedur penangkapan yang benar. Anak saya kreatif juga, dia mencatatnya di telepon—yang lalu dikirim ke kakaknya. Daniel rupanya tahu dan bilang, “Heh, jangan BBM-an ke mana-mana, dong.”
Saya tetap seolah berdiskusi—tapi sebenarnya saya menunjukkan perkataan saya kepada polisi-polisi itu: tentang prosedur penahanan yang benar. Rupanya mereka jengkel, lalu Victor bertanya kepada polisi yang duduk di depan, “Ada lakban enggak?” Ha-ha-ha, mulut saya mau dilakban. Anak saya tetap berusaha mencairkan suasana. Dia sempat berdebat dengan polisi di depan soal rokok.
Victor juga mengatakan dia tahu banyak tentang kasus saya. Saya ingatkan, “Heh, jangan bicara kasus di sini. Saya belum diperiksa!” Daniel kemudian bertanya-tanya kepada anak saya, yang segera saya minta untuk berhenti.
Kami tiba di Badan Reserse Kriminal Mabes Polri sekitar pukul 08.30. Saya minta anak saya pulang. Dia diantar petugas dari Polsek Sukmajaya. Di dalam, saya ditanya apakah bersedia diperiksa. Saya jawab bersedia. (Baca: Pelapor Bambang dari PDIP)
Mereka bertanya, “Apakah saya akan didampingi pengacara? Saya jawab, “Pengacara dari mana? Saya, kan, enggak membawa telepon.” Saya memang tidak suka membawa telepon. Daniel kemudian meminjami saya telepon, dan saya telepon Divisi Hukum KPK.
Setelah beberapa pengacara datang, saya berusaha mempraktekkan pengetahuan hukum yang saya punya. Saya minta penjelasan, pasal berapa, ayat berapa, huruf apa yang disangkakan kepada saya. Pasal 242 jo Pasal 55 yang disangkakan itu, kan, banyak butirnya. Mereka tidak bisa menjawab. Dan, setelah itu, saya tidak mau menjawab pertanyaan yang mereka ajukan. (EKSKLUSIF: Wawancara Ratna, Saksi Bambang KPK (I)
TIM TEMPO
Berita penting lain
Selalu Bilang Next, Ceu Popong Tegur Menteri Anies
Pengacara Budi Gunawan Kini Incar Penyidik KPK
KPK Rontok, Giliran Yusuf PPATK 'Diteror' DPR