TEMPO.CO, Bandung - Seniman Bandung memprotes pemilihan kepala daerah oleh DPRD yang undang-undangnya belum lama ini disahkan oleh wakil rakyat di Senayan. Aksi walk-out Fraksi Demokrat, yang diikuti rencana ketua umumnya yang hendak menggugat Undang-Undang Pilkada jadi sasaran kecaman.
"Apa pun langkah SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) sekarang, mengeluh atau apa, bagi kami, rakyat tidak bodoh. Kami punya penilaian lain, ini permainan sandiwara," kata Rahmat Jabaril, seniman dari Komunitas Gerbong Bawah Tanah, di sela aksi itu di Bandung, Rabu, 1 Oktober 2014. (Baca juga: SBY Jawab Kemarahan Netizen di @SBYudhoyono)
Protes itu dilakukan lewat aksi teatrikal di depan pintu gerbang Gedung Sate. Tiga orang memainkan peran rakyat yang asyik tertidur dalam selimut, di pangkuan seorang lainnya yang berdandan perlente memakai jas dan peci hitam. Rahmat Jabaril memainkan kain-kain merah, putih, dan biru di belakangnya dan mengakhiri aksi itu dengan mencoret aspal jalan dengan tulisan "No UU Pilkal!". (Baca juga: UU Pilkada, Berikut Dua Saran Jimly ke SBY)
Rahmat menuturkan permainan teatrikal itu menyoroti proses lahirnya Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah di sela rakyat dininabobokan oleh wakil rakyat. Berawal dari langkah politik Koalisi Merah-Putih yang mengusulkan pasal pemilihan kepala daerah tidak langsung, dan pamungkasnya partai biru yang berperan menggolkan undang-undang itu.
Menurut dia, pemilihan kepala daerah tidak langsung itu akan menyebabkan rakyat tidak akan tahu figur pemimpinnya. "Masyarakat juga tidak akan lagi terdidik berdemokrasi," kata Rahmat.
Rahmat mengatakan seniman-seniman di Bandung juga berencana ikut melayangkan uji materi undang-undang itu ke Mahkamah Konstitusi. "Harapannya undang-undang itu ditolak, kemudian tidak bisa diberlakukan," kata dia.
Menurut dia, pembatalan undang-undang itu dan mengembalikan hak rakyat untuk memilih secara langsung kepala daerahnya, merupakan cara untuk mengembalikan demokrasi. "Bahwa proses demokrasi yang ideal itu perlu waktu. Kalau alasannya menolak pemilihan langsung karena biayanya besar, saya pikir tidak begitu. Demokrasi itu perlu proses pendidikan yang panjang agar masyarakat memahaminya," kata Rahmat.
AHMAD FIKRI
Berita lain:
Disegel, Sea World Kehilangan Ribuan Pengunjung
PAN: Jika Terbitkan Perpu, SBY Keblinger
Jokowi: Siapa Bilang Harga BBM Naik November?