Pada 2004, ketika gedung mulai dibangun, pasar sarang walet cukup menggiurkan. Harganya sekitar Rp 15 juta per kilogram. Namun, hampir lima tahun setelah bangunan berdiri, burung walet ternyata enggan menitikkan liur dan membuat sarang di rumah milik keluarga Hadi itu. Pengurus rumah pun hampir setiap hari memutar suara burung melalui cakram padat, memancing sang walet agar bersedia singgah. "Padahal, gedung-gedung di sekitar sini telah dihuni walet," kata Widaryanto.
Toh, walau tanpa burung walet yang menghuni tiga gedung itu, aset Hadi Poernomo tetap jauh dari nilai yang dilaporkannya ke Komisi Pemberantasan Korupsi. Februari lalu, sebagai Ketua Badan Pemeriksa Keuangan, Hadi melaporkan kekayaannya dengan total hampir Rp 38 miliar. Sebagian besar atas nama istrinya, Melita Setyawati, dan menurut Hadi berasal dari hibah.
Dalam daftar kekayaannya, tercantum 28 properti di pelbagai daerah yang dilaporkan bernilai sekitar Rp 36 miliar. Dalam laporan yang sama, terdapat enam bidang tanah di Kabupaten Tanggamus (sebagian wilayahnya kini menjadi Kabupaten Pringsewu) dengan nilai kurang dari Rp 200 juta seperlima nilai harga pasar sekarang. Ini belum termasuk nilai "rumah walet" yang tidak dimasukkan ke laporan.
Dari investigasi Tempo, pencantuman nilai yang lebih kecil daripada nilai sebenarnya merupakan satu dari beberapa kejanggalan dalam laporan kekayaan Hadi. Tempo menemukan pula sejumlah properti atas nama Melita yang sama sekali tidak dilaporkan. Ada juga aset atas nama anak-anak pasangan itu yang lagi-lagi tidak dimasukkan ke laporan.
Satu keanehan, hampir semua kekayaan Hadi disebutkan bersumber dari hibah. Padahal, Tempo memperoleh akta jual-beli serta kesaksian yang berkaitan dengan proses transaksi pada sejumlah aset keluarga itu. Hanya ada satu akta hibah, yang dibuat untuk penyerahan empat aset sekaligus dari Raden Abdul Hadi Noto Sentoso, ayah Hadi Poernomo.