TEMPO.CO, Mataram - Warga negara Italia, Giovanni Ardizzon, 56 tahun, melalui kuasa hukumnya, Riki Riyadi, akan mengadukan majelis hakim Pengadilan Negeri Mataram ke Komisi Yudisial. Majelis hakim yang diketuai oleh Sutarno dinilai tidak adil dalam memeriksa perkara gugatan Giovanni terhadap koran Suara NTB.
Menurut Riki, ketentuan tentang hak jawab, seperti diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, bukanlah kewajiban yang harus dilakukan oleh pihak yang dirugikan oleh pemberitaan sebuah media massa. “Yang namanya hak, termasuk hak jawab, bisa digunakan, bisa juga tidak digunakan. Jadi hak jawab itu bukan merupakan kewajiban,” kata Riki kepada Tempo, Rabu, 16 April 2014.
Demikian pula hak untuk melakukan koreksi serta hak mengadukan kepada Dewan Pers. Kata Riki, hak tersebut tidak secara eksplisit disebutkan wajib dijalankan oleh kliennya. Sebab, Giovanni sebagai pihak yang dirugikan oleh pemberitaan koran Suara NTB itu harus dilindungi. Karena itu, Giovanni menempuh jalur hukum melalui gugatan perdata. “Majelis hakim seharusnya tetap memeriksa perkara itu,” ujar Riki pula.
Dalam pemberitaannya, Suara NTB, yang merupakan anak perusahaan koran Bali Post, menyebut Giovanni sebagai eksportir koral (terumbu karang) secara ilegal selama 2013. Akibat pemberitaan itu, Giovanni mengalami sakit jantung dan harus menjalani operasi di negaranya.
Giovanni pun menggugat Suara NTB. Dia meminta ganti rugi biaya operasi 58 ribu euro atau sekitar Rp 924,288 juta, dengan kurs Rp 15.936. Selain itu, Suara NTB, koran yang terbit di Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), itu harus membayar pengganti biaya transportasi Rp 25,81 juta dan kerugian immaterial Rp 2 miliar.
Majelis hakim dalam putusan sela, Selasa, 15 April 2014, menyatakan gugatan Giovanni tidak dapat diterima. Sebab, Giovanni harus lebih dulu menggunakan hak jawab dan mengadukannya kepada Dewan Pers.
Menurut majelis hakim, undang-undang tentang pers bersifat khusus, lex specialis derogat legi generalis. Jadi jika ada persoalan tentang pemberitaan pers haruslah melalui mekanisme hak jawab sesuai pasal 5 ayat 2, hak koreksi yang diatur dalam pasal 5 ayat 3, dan atau mengajukan ke Dewan Pers sesuai pasal 5 ayat 2.
Selain mengadukan ke Komisi Yudisial, kata Riki, kliennya menempuh upaya banding atas putusan sela majelis hakim. Namun hakim Sutarno mengatakan pertimbangan dalam putusan sela sudah sangat jelas. “Gugatan itu prematur, karena berkaitan dengan pemberitaan itu, penggugat belum menggunakan haknya. Siapa pun yang dirugikan oleh pemberitaan pers haruslah melalui mekanisme seperti yang diatur oleh undang-undang tentang pers,” ucap Sutarno.
SUPRIYANTHO KHAFID
Berita lain:
Soal Century, Ini Jawaban Sri Mulyani di Pansus
Kisruh Soal Ujian Nasional, Jokowi: Saya Dijebak
Jakarta Raih Peringkat Pertama Kota di Negara Berkembang
Koalisi PDIP-NasDem, Pasar Bereaksi Positif