Pertemuan-pertemuan banjar untuk mengambil keputusan, termasuk keputusan mendukung calon tertentu, umumnya hanya diikuti oleh para pria dewasa. Karena situasi itu, Santy memilih lebih banyak melakukan pendekatan ke pemilih pemula dan jaringan perempuan. Pada komunitas semacam itu, dia bisa langsung menjelaskan visi perjuangannya.
Kesulitan yang sama juga dirasakan Wayan Sumariati, 47 tahun, caleg perempuan untuk DPRD Klungkung dari daerah pemilihan Nusa Penida. Untungnya, sejak masih muda, dia sudah aktif dalam berbagai kegiatan perempuan seperti di kelompok PKK (Perkumpulan Kesejahteraan Keluarga).
“Jejaring ini yang saya manfaatkan. Soalnya kalau masuk ke kelompok laki-laki susah sekali,” ujarnya. Tuntutan saat bertemu dengan kelompok laki-laki pun lebih beragam dan membutuhkan biaya lebih besar. Sebagian besar pria, kata Sumariati, terlihat belum rela diwakili oleh politikus perempuan.
Ketua LSM Perempuan Bali Sruti, Luh Riniti Rahayu, menyatakan caleg perempuan di Bali memang harus bekerja dua kali lipat lebih keras dibanding caleg laki-laki. Sebelum terjun ke masyarakat, mereka dituntut sudah paripurna menyelesaikan urusan internalnya dengan para suaminya.
“Apalagi untuk soal dana politik yang akan digunakan. Kalau caleg laki-laki, semua terserah mereka,” ujarnya.