Caleg perempuan di Bali juga harus menghadapi persoalan-persoalan teknis seperti waktu pertemuan-pertemuan yang kerap berlangsung pada malam hari, lokasi kampanye yang jauh dari rumah, rumah tangga yang kurang terurus, dan lain-lain. Itu menjadi tantangan tersendiri karena perempuan Bali umumnya sangat dibutuhkan dalam persiapan acara-acara adat. Frekuensi acara adat biasanya cukup tinggi.
Karena berbagai alasan itulah sampai sekarang keterwakilan perempuan Bali di lembaga legislatif masih sangat rendah. Pada Pemilu 2009, keterwakilan itu hanya 7,5 persen. Padahal jumlah penduduk perempuan di Pulau Dewata sedikit lebih banyak dibanding jumlah laki-laki.
Penetapan kuota 30 persen pada Pemilu 2014 telah menambah jumlah caleg perempuan. Kini ada 1.186 orang caleg wanita dari total 3.230 caleg. Kondisi ini memperbesar peluang untuk meningkatkan keterwakilan perempuan di Parlemen.
“Tapi syaratnya, caleg perempuan harus mau bekerja sama meskipun lintas partai. Minimal jangan ikut saling menjatuhkan,” ujar Luh Riniti yang pernah menjadi anggota KPU Bali 1999-2004 itu. Menurut Riniti, caleg perempuan bisa saling menguatkan, terutama untuk caleg dari daerah pemilihan yang berbeda.
Pada saat hari-H pemilu, Riniti juga meminta para caleg perempuan bisa berbagi tugas dan saksi agar suara mereka tidak dirampok caleg lain. Selama ini suara buat caleg perempuan rawan menjadi dicuri baik ketika dihitung maupun dipindahkan.