Wapres memberikan tiga kesimpulan dalam pidatonya. Pertama, proses pengambilan kebijakan di negeri demokrasi yang masih muda seperti Indonesia menghadapi banyak rintangan. Pengalaman di Indonesia menunjukkan pentingnya upaya menciptakan suasana yang melatarbelakangi pengambilan kebijakan dalam kaitannya dengan kualitas kebijakan. Untuk mencapai hal itu, kata Wapres, harus ada jangkar rasionalitas dan akal sehat di antara institusi-institusi negara serta perbaikan tata kelola institusi politik, hukum, dan birokrasi.
Kedua, proses demokrasi itu sendiri pada akhirnya akan meningkatkan standar tata kelola pemerintahan melalui proses transparansi dan pengawasan berimbang. Namun, Wapres menekankan, proses tersebut bisa jadi berjalan terlalu lama dan terlalu berbahaya kalau kita terlalu mengandalkan proses 'alamiah.' Proses ini bisa disinkronisasi dan dipercepat melalui implementasi rencana yang sistematik dan terencana untuk memperbaiki tata kelola di semua institusi yang terkait.
Ketiga, benang merah dari seluruhnya adalah dilema dasar sejak era Plato tentang pengambilan kebijakan di era demokrasi. Dilema itu adalah sulitnya menemukan keseimbangan antara rasionalisme dan populisme dalam bentuk pembuatan kebijakan, antara pemerintahan yang efektif dan pemerintahan yang memiliki representasi baik, dan antara teknokrasi dan demokrasi. “Tidak ada model tunggal yang bisa berlaku di semua negara dan semua waktu,” kata Boediono.
MTQ
Berita penting lain:
Chris Jon dan Yordan Siap Pertahankan Gelar
Jabodetabek Turun Hujan Sore dan Malam Ini
5 Anak Pejabat yang Berurusan dengan Aparat
Operasi Kubah Hijau di Balik Kasus Syiah Sampang?
Dua Alasan Wawan Tak Boleh Melayat Hikmat Tomet