TEMPO.CO, Jakarta - Organisasi Angkutan Darat (Organda) mempertanyakan konsep low cost green car (LCGC). "Di mana letak green-nya bila ternyata tetap mengkonsumsi bahan bakar minyak?" kata Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Organda, Eka Sari Lorena, dalam keterangan resmi, Minggu, 29 September 2013.
Ia menuturkan, mobil murah terus diperdebatkan. Di tengah minimnya pembangunan infrastruktur transportasi dan ancaman kemacetan total di Jakarta serta kota besar lainnya, pemerintah pusat malah menerbitkan kebijakan mobil murah. Pemerintah dinilai tidak sensitif membaca kondisi di lapangan. (Baca: Pro-Kontra Mobil Murah, Ini Kata Warga Jakarta)
Eka mengatakan, kendaraan bermotor roda empat yang hemat energi dengan harga terjangkau atau KBH2 hadir dan sudah terjual puluhan ribu unit. Padahal, rakyat menginginkan transportasi massal seperti subway atau monorel di tengah kemacetan Jakarta, yang mencapai dua hingga tiga jam perjalanan.
"Mana lebih penting, naik kendaraan pribadi kemudian berebut di jalan sempit, atau mendorong hadirnya angkutan umum perkotaan yang andal?" tanya Eka. Ia mengatakan, selama puluhan tahun, keberpihakan pemerintah terhadap transportasi umum sangat minim. Akibatnya, masyarakat mencari solusi melalui mobil dan sepeda motor yang akhirnya menimbulkan kemacetan.
Ia menilai kebijakan pemerintah melalui LCGC hanya membuai masyarakat. Eka menjelaskan, jika LCGC tetap boleh memakai Premium, diperkirakan subsidi BBM tahun 2014 mencapai Rp 200 triliun. Ia pun memberikan ilustrasi. "Dengan uang sebanyak itu, tiap tahun Indonesia dapat membangun 12 jalur mass rapit transit (MRT) tanpa berutang 1 yen pun dari Jepang," ujar Eka.
MARIA YUNIAR
Berita Terpopuler
Sultan Bicara Kritik Amin Rais pada Jokowi
Pengkritik Jokowi Cari Popularitas
Prabowo Sebut Ada Pembajakan DPT Pemilu 2014
Prabowo: Saya Tak Cocok Jadi Wakil Presiden
Prabowo: Kontrak Politik PDIP Tak Lagi Signifikan
Soal Mobil Murah, Prabowo Sependapat dengan Jokowi