TEMPO.CO, Jakarta--Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT) mendesak Dewan Perwakilan Rakyat segera merampungkan Rancangan Undang-Undang PRT. Koordinator Advokasi, Lita Anggraini mengatakan selama ini DPR terkesan tak serius membahas RUU ini. Padahal kata dia, DPR sudah berjanji paling tidak draft RUU sudah disahkan paripurna sebagai RUU inisiatif DPR pada 2013 ini.
Menurut Lita, RUU perlindungan PRT ini sebetulnya sudah masuk dalam agenda pembahasan DPR sejak 2004 lalu. Namun hingga kini belum banyak kemajuan yang signifikan. Daft RUU bahkan belum disepakati paripurna DPR sebagai RUU inisiatif DPR. "Kami ngotot karena DPR selama ini terlalu menunggu, kalau ada kasus baru sibuk lagi mengurus RUU," kata Lita dalam workshop Pekerjaan Layak bagi Pekerja Rumah Tangga di Bogor, Sabtu 31 September 2013.
Menurut Lita, sejak diajukan ke DPR pada 2004 RUU Perlindungan PRT sudah beberapa kali terdepak dari program legislasi nasional (Prolegnas) DPR. Misalnya pada 2010, dan 2011 RUU ini sempat dibahas namun tetap tak dimasukkan dalam prolegnas. Barulah pada 2012, DPR mulai membahas serius. Pada Agustus 2012, panitia kerja Komisi Tenaga Kerja DPR pun telah melakukan kunjungan kerja ke Afrika Selatan dan Argentina untuk mempelajari UU perlindungan PRT di sana.
Pada 2 April 2013, draft RUU PPRT rampung di komisi dan diserahkan pada Badan Legislasi. Namun di Baleg kata Lita pembahasan cenderung tersendat. Sejak dimasukkan ke Baleg untuk diharmonisasi, baru sekali ada pembahasan yaitu pada 5 Juni 2013. Setelah itu pembahasan tak pernah ada lagi. "Makanya kami berharap di siswa waktu 2,5 bulan ini, Baleg segera merampungkan harmonisasi dan menyerahkan ke paripurna untuk disetujui sebagai usul inisiatif DPR."
Jala PRT kata Lita khawatir, bila hingga akhir periode 2009-2014 RUU tak disahkan jadi RUU inisiatif, pembahasan pada DPR periode berikutnya akan mentah dan dimulai dari awal lagi. "Pembahasan akan mulai dari nol lagi karena lazimnya pembahasan di DPR itu a historis."
Pengacara pada Lembaga Bantuan Hukum Jakarta bidang penanganan kasus dan divisi perburuhan, Pratiwi Febry mengatakan lahirnya Undang-Undang tentang Perlindungan PRT sangat dibutuhkan untuk menjamin adanya kepastian hukum. Saat ini mayoritas dari 10,7 PRT yang ada di Indonesia bekerja tanpa didasari kontrak kerja tertulis. Hal ini menyulitkan PRT bila terjadi pelanggaran hukum dan tindak kekerasan.
Undang-Undang tenaga kerja yang saat ini berlaku kata Pratiwi juga belum mencakup PRT sebagai pekerja. Padahal dari berbagai hal, PRT merupakan bagian dari pekerjaan yang membutuhkan aturan jelas. Selama ini terjadi diskriminasi dan stigmatisasi bahwa PRT bahwa pekerjaanya unskill.
Kondisi PRT di Indonesia saat ini kata Pratiwi jauh lebih buruk dari beberapa negara tetangga seperti Filipina dan Thailand. Filipina yang sudah meratifikasi konvensi 189 ILO 2011 tentang pekerjaan yang layak bagi PRT sudah mewajibkan adanya kontrak kerja antara PRT dan majikan. Di Thailand sudah ada pengakuan akan kontrak kerja lisan. Kontrak kerja ini kata Pratiwi menjamin adanya pengakuan, non diksirimasi, dan perlindungan terhadap hak-hak PRT. "Makanya kita butuh UU Perlindungan PRT"
RUU Perlindungan PRT yang kini dibahas di Baleg kata Pratiwi mencakup beberapa hal dasar seperti upah minimum, jam kerja, pengaturan cuti, dan penentuan bidang kerja. PRT sesuai konvensi ILO tak dibenarkan melakukan pekerjaan di luar yang sudah disepakati dalam kontrak. Misalnya seseorang yang direkrut untuk menjadi PRT tak bisa bekerja sekaligus menjadi pembantu di unit usaha majikan atau menjadi baby sitter.
Dari sisi majikan, adanya kontrak kerja juga memberi kepastian terhadap profesionalitas para ORT. Apalagi saat ini mulai banyak keluarga muda yang mempekerjakan PRT paruh waktu dengan tidak menginap di rumah seperti PRT yang lazim pada beberapa tahun lalu. Kontrak kerja juga mewajibkan PRT mempunya skill dalam bidang kerja yang disepakati dalam kontrak.
Wakil Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Muhammad Hakim mengatakan isu tentang perlunya perlindungan dan pengakuan PRT sebagai pekerja, bukan pembantu seperti yang jamak dimasyarakat ini sudah disampaikan dalam pertemuan antara KSPI dengan presiden pada 29 Juli 2013 lalu. KSPI berharap pemerintah dan legislatif menunjukkan sikap lebih responsif terhadap isu-isu ketenagakerjaan.
Perlinduang terhadap PRT sebagai bagian dari pekerja harus segera disahkan. KSPI bahkan sudah siap dengan langkah ekstrim bila sampai akhir 2013 RUU ini tak kunjung disepakati sebagai RUU inisiatif DPR. Langkah ekstreem yang dimaksud Hakim adalah melakukan investigasi terhadap perlakuan seluruh anggota dewan terhadap para PRT di rumah masing-masing.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia bidang Industri Kecil Menengah dan Usaha Kecil Mikro, Nina Tursinah sepakat dengan perlunya perlindungan terhadap para PRT. Bagaimana pun kata Nina, PRT merupakan kelompok masyarakat yang turut menggerakkan roda ekonomi. Dalam prakteknya PRT sering bersentuhan langsung dengan industri kecil dan menangah. "Makanya kami turut mendorong agar RUU ini segera rampung dan disahkan," kata Nina.
IRA GUSLINA SUFA
Terhangat:
Rupiah Loyo | Konvensi Partai Demokrat | Suap SKK Migas
Berita populer:
Brigjen Basaria: Dari Penyelundupan Sampai Susno
Ahok Heboh Terajana di YouTube
PDIP Merasa 'Disenyapkan' di Pilkada Jawa Timur
Ini Rahasia Sukses Polwan Versi Brigjen Basaria