TEMPO.CO, Malang - Calon Wali Kota Malang Mochammad Anton bakal membuat sejarah baru di kota berumur 99 tahun itu. Anton akan menjadi wali kota ke-16 sejak 1919 sekaligus menjadi wali kota pertama yang beretnis Tionghoa.
Hasil hitung cepat oleh dua lembaga survei mengunggulkan Abah Anton, panggilan Anton, yang berpasangan dengan Sutiaji, Wakil Ketua DPC Partai Kebangkitan Bangsa Kota Malang itu. Kota Malang melangsungkan pemilihan kepala daerah 2013-2018 pada Kamis kemarin.
Menurut Lingkaran Survei Indonesia (LSI), pria kelahiran 31 Desember 2013 dengan nama asli Goei Hing An itu memperoleh 48,15 persen suara. Sementara lembaga riset Proximity: Research, Strategy and Political Consulting mencatat perolehan 31,91 persen. Pengusaha tetes tebu itu jauh melampaui perolehan suara lima pasangan lainnya.
“Insya Allah, saya dan Pak Sutiaji bisa menjalankan amanat dan memenuhi janji yang sudah kami sampaikan,” kata Anton pada Kamis malam di rumahnya Jalan Tlogo Indah 16, Kelurahan Tlogomas, Kecamatan Lowokwaru. Ia menanggapi hasil hitung cepat lembaga-lembaga survei.
Anton mengaku sama sekali tidak punya niat dan ambisi jadi wali kota. Ketua Umum Persatuan Tionghoa Islam Indonesia (PITI) Malang Raya itu merasa lebih cocok jadi pengusaha. Pemilik PT Chandra Wijaya Sakti itu bersedia maju dalam pencalonan berkat dorongan para kiai yang aktif di PCNU Kota Malang. Mutammimah, istri mantan Ketua PBNU KH Hasyim Muzadi, turut menjadi pendukung Anton.
Baca juga:
Ia mengaku menanggung seluruh biaya kampanye. Bahkan, ia berjanji tidak akan mengambil gaji selama menjadi wali kota. Gajinya akan disumbangkan kepada kaum duafa dan anak yatim-piatu.
Bila terpilih menjadi wali kota, Anton akan mengembalikan keindahan Kota Malang agar kembali indah dengan meningkatkan kualitas pembangunan infrastruktur jalan dan transportasi untuk menghentikan kemacetan dan mengatasi banjir. Moratorium pemberian izin pendirian usaha baru, terutama untuk bangunan rumah-toko, akan diberlakukan. Sebaliknya, Pemerintah Kota Malang akan memperbaiki kualitas lingkungan dengan memperbanyak ruang terbuka hijau dan ruang publik.
“Kalau sekarang pembangunan tampak begitu pesat, tapi sebenarnya tidak teratur. Itu yang akan kami tata ulang agar kota ini menjadi lebih layak dihuni. Kami juga akan fokus pada pembangunan kesehatan dan pendidikan warga. Kualitas pelayanan publik harus ditingkatkan,” ujar Anton.
Direktur Strategi LSI Agus Budi Prasetyo menilai kemenangan duet Anton-Sutiaji (AJI) tak lepas dari konflik di PDI Perjuangan antara memilih pasangan Sri Rahayu-Priyatmoko Utomo (SR-MK) atau pasangan Heri Pudji Utami-Sofyan Edy Jarwoko (DaDi). Heri Pudji merupakan istri Wali Kota Malang Peni Suparto. Sofyan merupakan Ketua Golkar setempat.
DPP PDI Perjuangan merekomendasikan Sri Rahayu sebagai calon wali kota. Sedangkan Peni Suparto melawan keputusan DPP yang menonaktifkan dirinya sebagai Ketua DPC PDI Perjuangan Kota Malang dengan tetap mencalonkan sang istri. Konflik ini membuat massa PDI Perjuangan kebingungan. Akhirnya mereka mencari calon alternatif. “Pasangan AJI beruntung mendapat limpahan suara dari massa PDIP. Selain itu ada swing voters dan undecided voters sebanyak 39,8 persen yang memilih AJI,” kata Agus.
ABDI PURMONO