Iklan
TEMPO Interaktif, Jakarta:Wakil Presiden Hamzah Haz secara implisit menolak Rancangan Undang-Undang (RUU) Intelijen yang disusun oleh Badan Intelijen Negara (BIN). Menurut Hamzah, RUU itu potensial menimbulkan keresahan di masyarakat. "Kalau di dalam RUU itu BIN meminta kewenangan untuk menangkap dan menahan, itu akan menimbulkan dualisme antara kewenangan polisi dan BIN yang membuat ketidakpastian hukum," kata dia, seperti ditirukan juru bicara Hizbut Tahrir Indonesia, Muhammad Ismail Yusanto, usai diterima Wapres di Istana Wakil Presiden, Jakarta, Selasa (4/3). Pasal 21, 25, 26, 26, 28, dan 30 dalam RUU itu dinilai sebagai pasal-pasal yang rawan. Pasal 21, misalnya, menyebutkan dalam rangka melaksanakan penyelidikan, petugas intelijen negara berhak untuk menangkap, menahan, memeriksa, menggeledah orang yang dicurigai terlibat kegiatan yang mengancam negara. Penangkapan itu, sebagaimana dicantumkan pada pasal 21, dilakukan paling lama tujuh kali 24 jam. Namun pada pasal 27 disebutkan bahwa penahanan itu bisa diperpanjang paling lama tiga kali 90 hari. Bahkan pada pasal 28 dikatakan bahwa mereka yang ditahan dan diperiksa itu tidak berhak didampingi oleh pengacara. Lebih jauh Hamzah menilai pasal-pasal itu bisa digunakan untuk menjerat aktivis-aktivis yang vokal terhadap kebijakan negara, termasuk aktivis Islam yang memperjuangkan syariah Islam. "Bahkan nantinya bisa sampai membuat masyarakat takut mengakui dirinya Islam," kata Hamzah, seperti dikutip Muhammad Ismail. Oleh sebab itu, menurut Hamzah, untuk menghindari kontroversi BIN harus tetap pada fungsi dan kewenangannya sebelumnya, yakni memberi saran atau masukan kepada presiden dari hasil pantauan intelijen. Sementara tugas untuk menahan dan menangkap, tetap berada di tangan polisi. "Saya akan menugaskan fraksi di DPR untuk mengkaji itu lebih lanjut," kata Muhammad Ismail, menirukan ucapan ketua umum PPP itu. (Deddy Sinaga- Tempo News Room)
Iklan
