TEMPO.CO, Jakarta - Organisasi Lingkungan Greenpeace mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk memastikan perlindungan terhadap lingkungan Indonesia. "Caranya dengan mewujudkan berbagai komitmen positif yang terjadi pada tahun ini agar menjadi aksi nyata segera di tahun depan," kata Kepala Greenpeace Indonesia, Nur Hidayati, di Jakarta, Kamis, 22 Desember 2011.
Menurut dia, pada tahun ini terdapat beberapa komitmen positif pemerintah yang berpotensi mewujudkan lingkungan Indonesia yang lebih lestari di tengah berbagai ancaman perusakan lingkungan di Indonesia. "Sebagai contoh adalah penerapan moratorium (penghentian sementara) penghancuran hutan selama dua tahun, dimulai pada tahun ini," ujarnya.
Selain itu, kata Nur, perusahaan kelapa sawit terbesar di Indonesia, Golden Agri Resources (GAR) Sinar Mas Group, juga mengeluarkan komitmen untuk berhenti merusak hutan alam bernilai konversi tinggi dan mengandung karbon tinggi. "Selama lebih dari empat tahun, Greenpeace telah berkampanye mendesak diberlakukannya moratorium dan mendesak GAR berhenti merusak hutan alam," kata dia.
Dari sektor energi, pada tahun ini Presiden SBY dan Kementerian Energi Sumber Daya Mineral menyatakan tidak akan membangun Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir. "Selama bertahun-tahun Greenpeace terus berkampanye mengenai bahaya, risiko, dan biaya PLTN yang tidak sebanding dengan manfaatnya, serta mempromosikan energi terbarukan sebagai solusi," ujar Nur.
Sedangkan kampanye limbah beracun yang dimulai Greenpeace di Indonesia pada tahun ini juga memiliki beberapa sinyalemen positif. Pemerintah secara terbuka mengakui keterbatasannya dalam mengontrol praktik pembuangan limbah industri. Pemerintah juga mengakui bahwa Sungai Citarum tercemar oleh limbah industri. Kualitas air Citarum telah tercemar berat oleh berbagai sumber. "Hanya saja, semua sinyalemen dan komitmen ini tidak akan berarti apa-apa tanpa aksi nyata segera dari pemerintah," kata Nur.
Menurut dia, moratorium tidak akan efektif dalam menyelamatkan hutan Indonesia jika pemerintah tidak melakukan evaluasi terhadap izin-izin konsesi yang telah diberikan di kawasan yang masih memiliki tutupan hutan alam. "Selain itu, penegakan hukum dan tata kelola pemerintahan yang baik juga mutlak harus segera diwujudkan," ujar Nur.
Berdasarkan data Kementerian Kehutanan, kerugian negara akibat kerusakan hutan telah mencapai Rp 180,2 triliun. "Indonesia Corruption Watch juga menyatakan bahwa selama kurun 2005 hingga 2010 negara dirugikan Rp 169,7 triliun," kata Nur.
PRIHANDOKO