TEMPO Interaktif, Jakarta - Dalam Rapat Kerja yang berlangsung di Komisi Hukum DPR malam ini, Rabu, 14 Desember 2011 Kepala Kepolisian Jenderal Timur Pradopo mengakui soal aliran dana pengamanan Freeport senilai Rp 38,7 miliar. Dana itu, menurut Kapolri adalah sah karena diatur pada Keputusan Presiden Nomor 63 tahun 2004, dan Keputusan Menteri ESDM menyebutkan Freeport masuk dalam objek vital negara yang harus dilindungi.
Merujuk dua aturan itu, menurut Timur, Polda Papua lantas membuat MOU dengan PT Freeport mengenai pengamanan di kawasan itu. "Dalam pelaksanaan, Freeport menyiapkan sarana dan prasarana seperti tempat menginap dan uang saku," ujarnya Rabu 14 Desember 2011 malam.
Sedangkan untuk pengaturan anggaran, menurut Timur, sesuai MoU langsung diatur dan dikelola petugas kepolisian yang berjaga di Freeport. "Sehingga kalau ada jumlah tertentu itu tergantung dari jumlah yang diberikan PT Freeport dan tidak melalui markas besar Polri."
Meski begitu menurut Timur, dalam pengelolaannya, kepolisian tetap mengutamakan akuntabilitas dan transparansi. Pemberian dana menurutnya juga tidak mempengaruhi netralitas kepolisian dalam menjaga keamanan.
Menanggapi adanya dana swasta dalam operasional kepolisian ini, politisi Hanura, Syarifuddin Sudding menilai seharusnya tidak boleh terjadi. Sesuai UU nomor 2 tahun 2002, kepolisian adalah alat negara sehingga seharusnya tidak menerima dana dari lembaga swasta. "Bagaimana polisi bisa mempertanggungjawabkan netralitas kalau masih dibiayai swasta," ujarnya.
Berbeda dengan Sudding, politisi Partai Persatuan Pembangunan, Ahmad Yani justru berpendapat lain. Idealnya, untuk menjaga netralitas, Polri tidak boleh menerima dana dari pihak swasta manapun. Termasuk dari perusahaan swasta yang menjadi objek vital nasional. Namun sepanjang anggaran untuk lembaga kepolisian terbatas, hal itu tidak bisa dihindarkan. "Makanya saya mendorong agar alokasi anggaran untuk operasional kepolisian lebih diperhatikab ujarnya."
IRA GUSLINA | DIMAS SIREGAR