TEMPO Interaktif, Jakarta - Amnesty International mendesak pemerintah Indonesia dan Timor Leste untuk mengungkap tragedi pembantaian ratusan warga Timor Leste di Santa Cruz, Dili, 20 tahun silam. Pemerintah harus dan mengadili semua yang bertanggung jawab untuk pembunuhan di luar hukum, penghilangan paksa, penggunaan kekuatan yang berlebihan, dan pelanggaran HAM.
”Kegagalan yang berlanjut hingga 20 tahun ini memperlihatkan adanya impunitas atas kejahatan terhadap hukum internasional dan kejahatan HAM yang berlangsung di masa okupasi Timor Leste,” kata Direktur Amnesty International Asia Pasifik, Sam Zarifi, dalam siaran persnya, Sabtu, 12 November 2011.
Pada 12 November 20 tahun lalu, terjadi pembantaian ratusan warga Timor Leste di Santa Cruz, Dili. Ketika itu, tentara Indonesia menembak kerumunan pemuda di kawasan pekuburan Santa Cruz, Dili. Sekitar 200 orang diperkirakan tewas dan sebagian besar korban sampai sekarang belum ditemukan kuburannya.
Sam mengatakan, dalam sebuah laporan di PBB tahun 1994 terungkap bahwa anggota militer Indonesia bertanggung jawab atas pembunuhan itu. Dalam laporan ke PBB bahkan disebut sebagai operasi militer yang direncanakan dan dirancang untuk menangani publik dengan perbedaan pendapat politik menggunakan cara yang melanggar hukum hak asasi internasional.
"Karena itu, Amnesty International mendesak pihak berwenang Timor dan Indonesia untuk memulai segera investigasi yang independen, imparsial, dan efektif," kata Sam.
Baca Juga:
Tidak hanya kejadian di tahun 1991, penyelidikan kekerasan yang terjadi selama periode 1975-1999 juga harus dilakukan dalam kerangka yang lebih luas dalam penyelidikan kejahatan serius.
Orang Timor dan otoritas Indonesia juga harus membawa para pelaku ke pengadilan dan memastikan bahwa para korban menerima ganti rugi penuh. Sebab, Amnesty melihat adanya upaya perlindungan terhadap para pelaku yang dituduh melakukan kejahatan HAM serius.
"Amnesty International mendesak pihak berwenang Indonesia untuk bekerja sama sepenuhnya dengan Timor Leste untuk melakukan penyelidikan dan penuntutan orang-orang yang dituduh melakukan kejahatan," ujarnya.
Kejadian pembantaian itu terjadi ketika orang Timor tengah menghadiri peringatan meninggalnya Sebastio Gomes Rangel, warga Timor yang terbunuh sebulan sebelumnya. Ketika proses berjalan, warga pro-kemerdekaan mengibarkan bendera Timor yang menyulut terjadinya tembakan.
Tak lama, tentara yang menjaga berlangsungnya peringatan itu kemudian melepaskan tembakan tanpa peringatan terlebih dahulu. Berdasarkan pengakuan saksi mata yang diperoleh Amnesty, ditemukan bahwa beberapa tentara menembakkan senjata tidak hanya ke udara, tapi juga ke arah warga.
Bahkan ketika warga Timor Leste yang berada di lokasi sedang berusaha melarikan diri, tentara tetap mengeluarkan tembakan ke arah mereka. Dari kejadian itu diperkirakan 200 orang meninggal dan lebih dari 400 orang terluka parah.
RIRIN AGUSTIA