TEMPO Interaktif, Jambi - Pembalakan liar dan perambahan hutan di Jambi kian parah dan tak terkendali. Kawasan hutan yang menjadi sasaran adalah hutan produksi, hutan produksi terbatas, hutan lindung, bahkan hutan di areal taman nasional.
Kepala Program Manajer dan Advokasi KKI Warsi, Diki Kurniawan, menjelaskan berdasarkan pantauan lembaganya, aksi pembalakan liar dan perambahan hutan untuk dijadikan kawasan perkebunan. “Aksi tersebut diduga dibackingi para cukong dan aparat terkesan tutup mata dan bahkan disinyalir ikut di dalamnya," katanya kepada Tempo, Kamis, 20 Oktober 2011.
Diki mencontohkan, dalam kawasan hutan produksi bekas Hak Penguasaan Hutan PT Industries et Forest Asiatiques, di kawasan Kabupaten Tebo seluas sekitar 108.000 hektare saat ini mulai gundul. Padahal kawasan tersebut merupakan habitat ratusan ekor gajah, juga tempat menggantungkan hidup warga suku Anak Dalam.
Kenyataan tersebut diakui pula oleh Tarmizi, 35 tahun, warga Desa Muarosekalo, Sumay, Kabupaten Tebo. Menurut dia, aksi pembalakan liar di kawasan hutan produksi di daerahnya dilakukan secara terorganisir karena dibiayai cukong dan bahkan aparat. "Saya tahu persis Dinas Kehutanan Kabupaten Tebo maupun Provinsi Jambi membiarkan dan diduga ikut bermain dalam aksi itu,” ujar Tarmizi.
Tarmizi mengungkapkan, saat menerima laporan masyarakat, Dinas Kehutanan Jambi memang turun ke lokasi untuk mengecek titik koordinat lokasi kawasan hutan lindung yang dilaporkan menjadi sasaran pembalakan dan perambahan. “Namun petugas Dinas Kehutanan justru membodohi masyarakat dengan menyatakan aksi pembalakan liar terjadi di luar kawasan hutan,” kata Tarmizi.
Menurut Tarmizi, para pelaku pembalakan liar bergerak secara leluasa dan gampang menjual hasil jarahannya karena ada penampung bermodal besar, yakni CV Jaya Setia.
Tarmizi mengatakan akan melaporkan masalah tersebut kepada Kementerian Kehutanan RI, karena laporan yang disampaikan ke tingkat daerah tak pernah digubris. Jika tidak segera dilakukan tindakan, kata Tarmizi pula, kawasan hutan kian habis padahal berbatasan langsung dengan Taman Nasional Bukit Tigapuluh.
Pemilik CV Jaya Setia, Titi, membantah tudingan Tarmizi. Menurut Titi, pihaknya tidak pernah menjadi penampung kayu hasil pembalakan liar. "Kami mau membeli kayu dari masyarakat jika kayu tersebut memiliki dokumen sah. Siapa yang berani macam-macam di zaman sekarang," ucapnya.
Kepala Bidang Perlindungan Hutan Dinas Kehutanan Provinsi Jambi, Frans Tadipau, tidak menepis tudingan terjadinya pembalakan liar dan perambahan hutan. Namun Frans berdalih minimnya tenaga dan anggaran. "Kami hanya memiliki dana operasional sekitar Rp 24 juta per tahun. Bagaimana kami bisa mengamankan kawasan hutan seluas itu,” urainya.
Selain itu Frans justru mengatakan aksi pembalakan liar trennya telah menurun. Adapun yang meningkat adalah aksi perambahan, baik yang dilakukan masyarakat maupun yang dikoordinir pihak-pihak tertentu.
Frans menyebutkan adanya aksi perambahan kawasan hutan dilakukan masyarakat yang melibatkan anggota DPRD, seperti yang terjadi di kawasan hutan di Desa Bungku, Kecamatan Bajubang, Kabupaten Batanghari, dan di Kawasan Tungkalulu, Kabupaten Tanjungjabung Barat. ”Untuk mengatasinya harus ada ketegasan dalam penegakan hukum," tuturnya.
Aksi pembalakan liar pun terjadi pula di dalam kawasan taman nasional, misalnya di dalam Taman Nasional Berbak. Beberapa waktu lalu, Menteri Kehutanan, Zulkifli Hasan, memergoki sendiri aksi pembalakan liar di kawasan tersebut saat melintas menggunakan Helikopter di atasnya.
Kepada wartawan Zulkifli Hasan menyatakan telah meminta Gubernur Jambi dan jajaran kepolisian setempat melakukan koordinasi untuk menghentikan tindakan melanggar hukum tersebut. Namun kenyataannya aksi pembalakan liar masih terus berlangsung.
SYAIPUL BAKHORI