TEMPO Interaktif, Jakarta - Perempuan yang sudah berusia 90 tahun itu semringah. Kabar tersebut datang seperti mimpi indah. "Tadinya saya sudah pasrah saja, ternyata hasilnya baik," katanya kepada Tempo.
Perempuan tua itu adalah Cawi, janda korban pembantaian tentara kolonial Belanda di Kampung Rawagede, Kabupaten Karawang, Jawa Barat, yang terjadi pada 9 Desember 1947. Pembantaian Rawagede, begitu sejarah mengingatnya.
Rabu lalu, gugatan pelanggaran perang yang diajukan Cawi dan sembilan anggota keluarga korban lainnya atas agresi yang menghabisi 431 pria dewasa di kampung itu (sebanyak 181 mayat yang dapat dikumpulkan) dimenangi Pengadilan Den Haag, Belanda. Pemerintah Belanda antara lain divonis memberikan kompensasi kepada keluarga para korban.
Buat Cawi, yang kehilangan suami dan kemenakan pada hari pembantaian itu, kompensasi harus setimpal dengan penderitaan yang menguncinya selama 64 tahun pasca-pembantaian tersebut hingga kini. "Apa saya dibikinkan rumah? Ya, Alhamdulillah," kata Cawi, yang kini menumpang di rumah anaknya dan sempat menjadi kuli tanam padi untuk menyambung hidup.
Keadilan itu terbit setelah perjuangan lebih dari enam tahun. Cawi dan kawan-kawan, yang difasilitasi Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) dan Yayasan Rawagede, mengirim petisi kepada Pemerintah Kerajaan Belanda.
Baca Juga:
Mereka resmi mengajukan gugatan melalui perwakilan KUKB di Den Haag pada 8 Mei 2005. Saat itu juga ditunjuk pengacara yang telah banyak membela kasus-kasus korban perang, Liesbeth Zegveld.
Dua kali agenda sidang gugatan sempat dihadiri. Pertama, Sukarman dari Yayasan Rawagede didampingi Saih bin Sakam sebagai saksi hidup. Kedua, Juni lalu, dihadiri enam anggota keluarga korban--karena empat lainnya termasuk Saih telah meninggal dunia.
Selain Cawi, kelima anggota keluarga korban yang masih hidup dan mendengar kabar kemenangan gugatan adalah Wanti (istri Karman), Lasmi, Wanti (istri Dodo), Tijeng, dan Taswi. "Perjuangan meraih keadilan ini cukup panjang dan pengorbanannya banyak," kata Sukarman, yang juga anak dari Cawi.
Secara terpisah, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar belum bersedia menanggapi putusan pengadilan Den Haag tersebut hingga ada salinan yang diterima. "Kami lakukan hubungan diplomatik, bersama Kementerian Luar Negeri juga," ujar Patrialis di kantornya kemarin.
HAMLUDDIN | ISMA SAVITRI