TEMPO Interaktif, Jakarta - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) didesak bertindak adil dalam sektor penyiaran. Pemerintah berkewajiban menjaga penyiaran berada dalam koridor keadilan, etika, dan keberagaman, namun cenderung membiarkan pelanggaran terang-terangan terhadap hukum.
"Contohnya, sejumlah korporasi lembaga penyiaran swasta bisa menguasai dua atau tiga stasiun penyiaran, televisi juga radio, dalam satu badan usaha, di satu wilayah siaran," kata Koordinator Koalisi Independen untuk Demokratisasi Penyiaran Eko Maryadi dalam surat terbuka pada SBY. Surat itu dikirimkan melalui faksimili hari ini, Selasa, 19 Juli 2011.
Koalisi menilai, monopoli bisnis penyiaran di tangan segelintir korporasi di Jakarta membuat siaran televisi Indonesia bias, hanya mengutamakan kepentingan Jakarta, mengabaikan keunikan dan keragaman daerah. Pemusatan bisnis itu bertentangan dengan semangat desentralisasi dan prinsip Bhinneka Tunggal Ika. Kepemilikan lembaga penyiaran yang terpusat di satu tangan juga menghilangkan tujuan penyiaran yang demokratis, yaitu keberagaman kepemilikan dan keberagaman konten.
Maka, Koalisi mendesak SBY melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika, Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK), serta lembaga terkait lainnya, agar menertibkan dan menegakkan hukum terhadap pelanggarnya. Pelanggaran yang sudah terjadi harus segera diakhiri, antara lain dengan memaksa korporasi pemilik lembaga penyiaran melakukan divestasi (penjualan) atas saham usaha penyiaran yang dimiliki kepada publik sesuai peraturan yang berlaku. Adapun korporasi yang akan atau sedang dalam proses akuisisi atau melanggar aturan kepemilikan harus segera dibatalkan demi hukum.
Kementerian Komunikasi dan Bapepam-LK pun diminta bertugas secara adil, konsisten, dan profesional. Terutama, dalam pemberian izin baik untuk penyelenggaraan penyiaran maupun izin lain yang berhubungan dengan kegiatan di pasar modal. Koalisi mengingatkan bahwa pasal 18 ayat (1) UU Penyiaran menyebutkan, "Pemusatan kepemilikan dan penguasaan Lembaga Penyiaran Swasta oleh satu orang atau satu badan hukum, baik di satu wilayah siaran maupun di beberapa wilayah siaran, dibatasi."
Koalisi mencontohkan sejumlah perusahaan yang diduga melanggar hukum penyiaran. Antara lain, korporasi MNC yang menguasai RCTI, Global TV dan MNC (dulu TPI) di wilayah Jakarta. Kemudian grup Elang Mahkota Teknologi (EMTK) memiliki SCTV dan Omni-TV (O Channel), ditambah upaya akuisisi grup EMTK terhadap Indosiar. Kemudian grup Visi Media Asia yang hendak masuk ke pasar modal dengan menguasai dua stasiun ANteve dan TVOne yang sama-sama berbasis di Jakarta.
Komisi Penyiaran Indonesia telah menyampaikan pandangan hukum atas rencana pengambilalihan stasiun penyiaran karena itu berpotensi melanggar hukum. Tetapi, peringatan KPI itu diabaikan oleh Bapepam-LK dan Kementerian Komunikasi. "Kami menduga terjadi kongkalikong bisnis perizinan penyiaran dan penggunaan frekuensi yang membuat pelanggaran terhadap UU Penyiaran makin meluas, tanpa bisa dicegah," kata Eko.
Koalisi berpendapat semua perusahaan itu jelas melanggar pasal 18, pasal 20, pasal 34 ayat (4) Undang Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran serta Peraturan Pemerintah No 50 tahun 2005 pasal 34 ayat (1) huruf (a) tentang Lembaga Penyiaran Swasta. Sementara itu UU Penyiaran juga mengatur penyertaan modal asing dalam sektor tersebut dibatasi maksimal 20 persen, kendati kenyataannya sudah seringkali dilanggar.
Jika pembiaran hukum terus berlanjut, Koalisi berencana menempuh jalur hukum untuk menuntut Bapepam-LK dan Kementerian Komunikasi yang sengaja menabrak peraturan atau melakukan pembiaran terhadap pelanggaran tersebut.
"Kami juga akan segera mengajukan permohonan pengujian UU Penyiaran ke Mahkamah Konstitusi," tutur Eko. Beberapa pihak termasuk pemerintah dan industri pertelevisian seringkali mengatakan peraturan perundangan-undangan bidang Penyiaran multitafsir, padahal menurut Koalisi tafsirannya sangat jelas bila diselaraskan dengan pandangan dasar dan filosofi UU tersebut.
Koalisi menyatakan upaya tersebut bertujuan memperkuat kepastian hukum. Sehingga, tak ada satu pihak pun yang kemudian hari melakukan kembali pelanggaran Undang Undang dengan menggunakan alasan bahwa UU Penyiaran ini multitafsir.
BUNGA MANGGIASIH