"Potensi penyalahgunaan wewenang oleh intelijen (dalam RUU) sama sekali tidak bisa dimintai pertanggungjawaban hukum," kata Wakil Ketua Setara Institute, Bonar Tigor Naipospos, di hadapan wartawan, Senin 9 Mei 2011.
Soal pengawasan kerja intelijen ini tertuang di Pasal 37 RUU Intelijen. Pengawasan dilakukan DPR. Selain itu terdapat Dewan Kehormatan Intelijen Negara yang tugasnya mengawasi kode etik. Badan intelijen juga melaporkan seluruh kinerjanya kepada Presiden.
Tapi, menurut Bonar, institusi yang melakukan kerja intelijen dan rahasia tidak cukup diawasi dengan tiga perangkat di atas. "Tidak ada mekanisme yang ketat bagaimana Presiden mengontrol kinerja intelijen negara," ujarnya. Sedangkan dewan kode etik, hanya sedikit yang bisa bekerja optimal dan imparsial.
Bonar mengatakan pembentukan komite khusus penting untuk lebih mengefektifkan fungsi pengawasan yang selama ini dilakukan Komisi I DPR. Tapi, persoalan yang harus diawasi Komisi I terlalu luas. Ia mengusulkan komisi membentuk subkomisi dengan jumlah anggota terbatas yang khusus menangani pengawasan kerja intelijen.
Ia juga menggarisbawahi perlunya lembaga peradilan dilibatkan dalam pengawasan eksternal, terutama menyangkut perlindungan hak asasi manusia dan penegakan hukum. Meski intelijen dan badan intelijen bukan bagian dari proses hukum dan laporan intelijen bukan bukti hukum.
Jika mengacu pada praktek di luar negeri, pengawasan badan intelijen bisa dalam tiga bentuk. Pertama oleh parlemen, di mana perlemen membentuk komite beranggotakan tujuh-sembilan orang. Kedua oleh pengadilan dan ketiga oleh komite di luar parlemen.
Badan pengawas eksternal tersebut memiliki kewenangan penuh untuk mengawasi kinerja badan intelijen. Ia bahkan bisa memgnvestigasi terhadap aktifitas intelijen dan melaporkan hasilnya kepada parlemen dan publik. Agar bisa menjalankan tugasnya, badan pengawas dibekali akses terhadap informasi-informasi rahasia.
Peneliti Setara Institute Ismail Hasani mengatakan soal pengawasan ini tidak banyak diberi porsi pembahasan dalam RUU. Padahal RUU tentang intelijen dan revisi UU tentang Terorisme mengandung banyak over criminalization. "Banyak tindakan tadinya tidak masuk kategori, sekarang dimasukkan dalam kategori tindak terorisme," katanya.
KARTIKA CANDRA