TEMPO Interaktif, Jakarta - Tokoh Nahdlatul Ulama Salahuddin Wahid mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk meminta maaf atas terjadinya pelanggaran hak asasi manusia berat yang terjadi di masa lalu. Langkah meminta maaf ini pernah juga dilakukan oleh mertua Presiden SBY, Sarwo Edhie Wibowo, kepada Ilham Aidit, putra tokoh Partai Komunias Indonesia, DN Aidit, meski hal itu tidak dilakukan di depan umum.
Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng yang akrab disapa Gus Sholah ini mengatakan upaya untuk menyelesaikan persoalan pelanggaran HAM berat dimasa lalu cukup sulit dilakukan. "Masyarakat juga sudah pada lupa," katanya di depan peserta diskusi publik "Menyelesaikan Pelanggaran HAM Masa Lalu" di Salemba, Jakarta, Selasa 12 April 2011.
Penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat seperti G30S, kasus Talang Sari, dan Tanjung Priok yang terlunta-lunta, menurut dia, dapat melahirkan pelanggaran serupa di masa depan. Contoh terkini adalah kekerasan yang terjadi atas Jemaat Ahmadiyah. Tindakan ini menunjukkan betapa negara tidak belajar dari kasus-kasus terdahulu.
Menurut Gus Sholah, negara juga terkesan lamban dalam menyelesaikan sejumlah pelanggaran HAM berat. Misalnya, lambannya Presiden dalam memilih anggota Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dan pembatalan Undang-Undang KKR pada 2007 oleh Mahkamah Konstitusi karena adanya pihak yang menggugat.
Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Hajriyanto Thohari di acara yang sama mengatakan, instrumen Komisi Kebenaran masih diperlukan untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu. "Pemerintah juga harus terus didesak," katanya.
Hajriyanto menambahkan ada dua hal yang dapat digunakan untuk menuntaskan persoalan HAM yang tertunda, yaitu dengan payung hukum yang kuat dan kekuatan politik yang besar. "Semua harus dimulai dari undang-undang," ujar Hajriyanto.
ADITYA BUDIMAN