TEMPO Interaktif, Jakarta - Direktur Program Imparsial, Al Araf atau Aal, menilai bisnis-bisnis yang dikelola oleh aparatur Tentara Nasional Indonesia hanya menguntungkan segelintir kelompok petinggi saja. Karena itu, ia mendesak pemerintah menjalankan Undang-undang nomor 34 tahun 2004 tentang TNI yang juga mengatur tentang pengalihan aset dan bisnis tentara.
“Pengambilalihan aset justru berpengaruh pada kesejahteraan prajurit tentara,” kata Aal pada saat pemaparan pers di kantor Imparsial Jumat (11/3) siang tadi.
Aal menyayangkan pemerintah lambat dalam menangani pengalihan aset tentara yang sudah dimulai sejak masa reformasi. “Ada anggapan aset tersebut ditahan untuk mensejahterakan prajurit,” katanya. Padahal, menurut Aal, semakin lambat pemerintah mengambil alih aset maka semakin lambat juga prajurit sejahtera.
Di tempat yang sama, Direktur Eksekutif Institute for Defence, Securities, and Peace Studies, Institute for Defence, Securities, and Peace Studies, menilai lambatnya proses pengalihan terjadi sebab pemerintah belum tuntas menginventarisir unit bisnis dan aset TNI.
Padahal, menurut Mufti, banyak tim yang telah dibentuk pemerintah untuk menginventarisir bisnis dan aset tersebut. “Kita belum bisa bicara soal pengalihan karena apa yang mau dialihkan juga belum tuntas diinventarisir,” kata Mufti.
Salah satu faktor yang membuat proses inventarisasi lambat, menurut Mufti adalah karena tim inventaris tak punya akses langsung untuk memeriksa aset TNI. “Mereka dapat data dari TNI sulit, harus berjenjang,” tutur Mufti.
Berdasarkan data yang dihimpun Imparsial dan IDSPS, setidaknya ada dua tim yang dibentuk pemerintah untuk menginventarisir bisnis dan aset TNI, Tim Supervisi Transformasi Bisnis (TSTB) TNI, dan Tim Nasional Pengalihan Aktivitas Bisnis (TNPAB) TNI.
Keduanya melaporkan jumlah unit bisnis dan total aset yang berbeda-beda.TSTB melaporkan total aset bersih yang dikelola TNI besarnya Rp 1,5 Triliun, sedangkan TNPAB pada 2008 melapor aset bersih sebesar Rp 2,3 Triliun.
ANANDA BADUDU