TEMPO Interaktif, Jakarta - Jika status anggota DPRD di seluruh Indonesia ditingkatkan statusnya menjadi pejabat negara, maka, pemerintah juga harus memberikan uang pensiun kepada mereka. Anggaran pensiun untuk mereka akan membebani APBN mencapai Rp 8-10 triliun pertahunnya. Padahal selama ini mereka hanya diberi uang jasa pengabdian (UJP) yang jumlah perhitungannya dikaitkan dengan lamanya mengabdi di DPRD.
"Ini kalkulasi tahunan dengan jumlah 21 ribu anggota DPRD. Jadi jumlahnya sangat besar menyedot anggaran negara. Ini baru untuk kepentingan pensiun, bagaimana fasilitas lain karena termasuk eselon dua minta pinjaman untuk pembelian mobil, dan lain-lain. Ini resikonya besar," kata Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri, Djohermansyah Djohan dalam diskusi dengan wartawan di Jakarta, Kamis (10/3) kemarin.
Djohermansyah menanggapi usulan Asosiasi DPRD Provinsi Se-Indonesia (ADPSI) yang meminta status mereka diperjelas. Selama ini walaupun kedudukan mereka sebagai unsur penyelenggara pemerintah daerah sejajar dengan gubernur, anggota DPRD tidak masuk kategori pejabat negara.
Usulan tersebut kini tengah dikaji karena peningkatan status anggota DPRD menjadi pejabat negara akan berimbas ke anggaran negara yang harus dikeluarkan. "Pemerintah menampung dan mengkaji aspirasi tersebut. Betul-lah mereka juga termasuk pejabat negara, tapi ditingkat daerah," kata Djohermansyah.
Menurut dia, apa yang diminta asosiasi DPRD dalam Rapat Kerja Nasional ADPSI yang diselenggarakan di Bandung kemarin, cukup realistis. Ia mencontohkan, di pemerintahan pusat, kedudukan Presiden, DPR, DPD dan beberapa lembaga tinggi negara lainnya disebut sebagai pejabat negara. Begitu juga dengan gubernur, bupati dan walikota juga disebut pejabat negara meski ditingkat daerah. Seharusnya, DPRD pun masuk kategori tersebut. Namun sejak awal berdirinya, status anggota DPRD tidak jelas.
Posisi DPRD yang membingungkan ini berpengaruh pada pelaksaan, fungsi dan tugas-tugas mereka. Misalnya, dalam konteks pelaporan harta kekayaan ke Komisi Pemberantas Korupsi (KPK), anggota DPRD masuk dalam kategori pejabat negara. Begitu juga dalam hal potongan pajak. Sedangkan dalam konteks biaya perjalanan dinas, protokoler, anggota DPRD masuk dalam kategori atau disetarakan dengan pejabat pemerintah eselon II.
"Mereka sama-sama penyelenggara daerah (dengan gubernur), satu menjalankan fungsi pemerintahan satunya membuat kebijakan, legislasi, hak anggaran, tapi statusnya beda. Memang dari segi normalnya posisi pejabat negera harus diberi hak-haknya, harus kita perlakukan dengan adil. Kalau posisinya pejabat negara, protokoler beres, hak-hak keuangan dan hak administrasi, jadi jelas. Ini yang tidak bisa direalisasi karena status yang tidak jelas," kata dia.
Kendalanya, kata Djohermansyah, permintaan ini tentu konsekuensinya berimbas pada anggaran dan keuangan negara. Karena akan memasukkan unsur-unsur dana pensiun, pinjaman mobil, dan lain sebagainya. Apalagi jika dihitung ada sekitar 21 ribu anggota DPRD dari 524 provinsi/kabupaten/kota. "Itu beban keuangan negaranya dahsyat. Makanya kita harus berkomunikasi dulu dengan kementerian keuangan dan kementerian terkait," ujarnya.
MUNAWWAROH