TEMPO Interaktif, Jakarta - Peneliti Transparency International Indonesia, Putut Ariyo Saputro mengungkapkan, sistem perizinan usaha di Indonesia rawan dari korupsi. "Modusnya mulai dari uang pelicin hingga hubungan afiliasi yang istimewa (kolusi)," kata dia dalam pemaparan di kantor TII, Ahad 30 Januari 2011.
Data TII menunjukkan prosedur yang harus dilalui investor untuk memulai usaha di Indonesia diatas rata-rata negara di Asia Timur dan Pasifik, maupun negara OECD (30 negara untuk organisasi dengan prinsip demokrasi perwakilan dan ekonomi pasar bebas).
Untuk membuka izin Usaha di Indonesia pada 2011 perlu melalui sembilan prosedur selama 47 hari. Sementara di negara Asia Timur dan Pasifik cukup 7,8 prosedur dalam 39 hari, bahkan untuk OECD hanya butuh 5,6 prosedur dalam 13,8 hari.
Padahal sejak digulirkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No 24 Tahun 2006 tentang layanan satu atap untuk izin usaha, tercatat sudah 14 provinsi dan 365 kabupaten/kota yang memiliki Pelayanan Terpadu Satu Pintu
Sayangnya, kata Putut, belum ada standar waktu dan tarif di tiap pelayanan satu pintu, ketidakjelasan standar pelayanan minimal hingga ketiadaan pengawasan eksternal. Akibatnya, meski judulnya 'satu pintu', potensi korupsinya masih kuat dengan modus penyalahgunaan wewenang, mekanisme di luar sistem dan perburuan rente.
Potensi korupsi itu diamini Manajer Hubungan Eksternal Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah, Robert Endi Jaweng. "Kewenangan kepala layanan satu pintu berpotensi korupsi," kata dia dalam kesempatan yang sama.
Pasalnya, pelayanan satu pintu di daerah ternyata tak dikontrol Pemerintah Daerah maupun masyarakat. Bahkan di Medan, kata Endi, kepala pelayanan satu pintu yang ditemuinya mengaku ada petugas mereka yang menjual beli izin usaha.
Kondisi ini diperparah dengan minimnya sosialisasi layanan satu pintu. Sehingga investor yang berniat masuk, terkadang tidak tahu kalau sudah ada layanan ini. "Mereka kembali datang ke dinas-dinas untuk mengajukan izin, dan dinas pun menyambut dengan meminta bayaran," ungkap Endi
Transparency International berharap ada evaluasi berkala dan berkelanjutan pada program layanan terpadu. "Tentunya oleh Badan Pengawas (internal) maupun independent monitoring," kata Putut.
DIANING SARI