TEMPO Interaktif, Bandung: Anggota Dewan Pertimbangan Presiden bidang Hubungan Antar Agama KH Ma’ruf Amin mengatakan, Peraturan Bersama Menteri (PBM) yang mengatur pendirian rumah ibadah tidak bisa direvisi oleh pemerintah. ”PBM itu dibuat oleh majelis-majelis agama (di Indonesia) dia merupakan piagam kesepakatan, pemerintah hanya meregulasikan,” katanya di sela-sela kunjungan kerjanya di Bandung, Kamis (23/9).
Ma’ruf tidak setuju dengan pernyataan Menkopolhukam Joko Suyanto yang mengatakan peraturan itu terbuka peluangnya untuk direvisi. Ma’ruf beralasan, PBM bukan peraturan biasa. ”Spesifikasi PBM itu berbeda dengan peraturan yang lain, dia menyangkut kesepakatan majelis-majelis agama, jadi bukan seperti peraturan-peraturan yang dibuat pemerintah,” kata Ma’ruf.
Ma’ruf yang juga terlibat dalam perumus kesepakatan itu menuturkan, PBM itu disusun untuk menjadi Surat Keputusan Bersama lama yang ditolak semua perwakilan agama di Indonesia. Dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) itu pemerintah diposisikan sebagai pembina, sementara dalam PMB pemerintah diposisikan untuk memelihara kerukunan.
Dalam penyusunan PMB, butuh 4 bulan untuk mencapai kesepakatan. Bahkan dalam pembahasan sempat diusulkan syarat dukungan 200 orang untuk mendirikan sebuah rumah ibadah. Namun akhrinya disepakati hanya 60 dukungan saja. Piagam kesepakatan itulah yang diserahkan ke pemerintah. ”Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri menjadikan kesepakatan itu menjadi aturan pemerintah,” kata Ma’ruf.
Dengan alasan itu Ma’ruf tidak setuju jika pemerintah berniat membuka peluang revisi PBM begitu saja. Revisi itu hanya bisa dilakukan jika ada kesepakatan perwakilan majelis-majelis agama di Indonesia. ”Itu harus dikembalikan pada majelis-majelis agama,” kata Ma’ruf.
Kunjungan Ma’ruf ke Jawa Barat ini adalah untuk mengkaji masalah pendirian rumah ibadah yang kisruh di Kota Bekasi. Dia bertemu dengan Gubernur Ahmad Heryawan, Wakil Gubernur Dede Yusuf, Kapolda Inspektur Jenderal Sutarman, pengurus Forum Komunikasi Umat Beragama Jawa Barat, serta perwakilan organisasi keagamaan.
Dalam pertemuan itu, Ketua II Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia wilayah Jawa Barat Kelvin Lambe mengeluhkan soal aturan tadi. ”Lebih sulit mendirikan rumah dibadah dibandingkan mall,” katanya.
Bahkan, kata Kelvin, ketika semua persyaratan yang diatur dalam PMB sudah terpenuhi, belum tentu bisa rumah ibadah bisa didirikan. Ada sejumlah daerah yang menerapkan aturan tambahan yang mewajibkan harus mengurus ijin peruntukan pendirian bangunan.
Tak hanya itu, ada sejumlah kasus sengketa soal pendirian rumah ibadah yang sudah mendapatkan putusan kasasi di pengadilan tetap saja tidak dapat dieksekusi. Kelvin mencontohkan, sengketa pendirian rumah ibadah di Bogor dan Depok yang menang ditingkat kasasi namun tidak bisa dieksekusi.
Vikaris Jenderal Keuskupan Bandung Paulus Wirasmohadi Soerjo memberi keluhan yang sama. Menurut dia, umat Katolik jumlahnya sedikit dan domisilinya tersebar. Sulit bagi mereka untuk memenuh persyaratan pendirian rumah ibadah. ”Realitas umat tidak memudahkan kami membuat gedung tambahan untuk beribadah,” katanya.
Gara-gara itu juga gereja yang sudah ada terpaksa dipakai giliran untuk beribadah. Ada juga jemaah yang tinggal di Cikampek, terpaksa mengeluarkan ongkos lebih agar bisa beribadah di Purwakarta. ”Menjalankan penggembalaan itu tidak mudah,” kata Paulus.
Ketua MUI Jawa Barat KH Hafidz Utsman mengatakan, persoalan pendirian rumah ibadah makin kisruh karena kerap persoalannya dipolitisir. ”Kalau perlu ditindak secara hukum jangan dibiarkan, kami ingin segala hal proporsional, jangan mengorbankan rakyat,” katanya.
Berdasarkan catatan Kantor Wilayah Kementerian Agama Jawa Barat, persoalan pendirian rumah ibadah paling banyak melibatkan umat Kristen Protestan dibandingkan agama lain. Masalah ini muncul karena sedikitnya 350 organisasi keagamaan Kristen Protestan yang masing-masing ingin memiliki tempat ibadah sendiri.
Ketua PGII Jawa Barat Krisna Suryadi mengatakan, rumah ibadah bagi umat Kristen tidak hanya sebatas tempat sembahyang semata. ”Ada kegiatan pembinaan yang harus diselenggarakan, Senin sampai Jumat kegiatan itu bisa bergantian,” katanya.
Ahmad Fikri