"Penetapan Presiden (PNPS) itu produk legislasi zaman Orde Lama yang ditelikung oleh Soeharto, dijadikan Undang-undang tanpa perubahan dan penyempurnaan. Akibatnya kita jadi korban sejarah," kata Buyung sebelum sidang uji materi beleid Pelarangan Buku itu di Mahkamah Konstitusi, Selasa (15/6).
Menurut dia, sesuai Ketetapan Majelis Pemusyawaratan Rakyat Sementara tahun 1967, Penetapan Presiden yang dilansir di masa Soekarno seharusnya dicabut, diubah, atau disempurnakan.
Adnan semula diminta pemohon menjadi ahli dalam sidang hari ini. Namun ia memutuskan menjadi saksi fakta, karena ahli haruslah memberikan keterangan yang ilmiah dan tak bisa mengambil sikap, sementara saksi fakta bisa menyatakan pengalaman empirisnya.
Baca Juga:
Dalam sidang kali ini, budayawan Franz Magnis Suseno, pakar media Atmakusumah Astraatmadja, ahli politik Yudi Latif, dan dosen filsafat Universitas Indonesia Donny Gahral Adian turut memberikan keterangan sebagai ahli yang diajukan pemohon uji materi.
Akhir tahun lalu, Kejaksaan Agung melarang peredaran lima judul buku, yakni "Dalih Pembunuhan Massal Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto" karangan John Roosa, "Lekra Tak Membakar Buku Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965" karya Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan, "Enam Jalan Menuju Tuhan" buatan Darmawan, "Suara Gereja bagi Umat Tertindas Penderitaan, Tetesan Darah, dan Cucuran Air Mata Umat Tuhan di Papua Barat Harus Diakhiri" karya Cocrates Sofyan Yoman,serta "Mengungkap Misteri Keberagamaan Agama" yang ditulis Syahrudin Ahmad.
Sebagian penulis buku yang dilarang, yakni John Roosa melalui penerbitnya Institut Sejarah Sosial Indonesia, serta Muhidin M Dahlan dan Rhoma Dwi Aria Yuliantri, lantas mengajukan uji materi beleid Pelarangan Buku ke meja Mahkamah Konstitusi.
Dalam persidangan sebelumnya, pemerintah bersikukuh mempertahankan ketentuan pelarangan buku untuk melindungi ketertiban umum.
BUNGA MANGGIASIH