TEMPO Interaktif, Kupang - Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur (NTT) sejak zaman dahulu dikenal dengan pohon cendana yang harum. Karena itu, NTT selalu dijuluki daerah cendana. Namun, harumnya cendana hanya tinggal kenangan.
NTT memang terkenal sebagai penghasil cendana yang kemudian menjadi incaran bangsa Eropa menguasai Timor dan pulau-pulaunya sejak dikuasai Portugis pada 1515. Jauh sebelumnya, pedagang Cina di era Dinasti Fang (610-906) datang ke NTT (Pulau Timor) untuk membeli cendana.
Harumnya cendana di Bumi Flobamora (Flores, Sumba, Timor dan Alor) mulai hilang sejak tahun 1986, karena pemerintah daerah menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 16/1986 yang mengatur tata niaga cendana. Di mana, dalam perda itu disebutkan pohon cendana yang tumbuh di pekarangan warga adalah milik pemerintah sehingga masyarakat dilarang menebang dan menjual cendana.
Perda itu juga menyebutkan, pemerintah berhak atas 80 persen hasil penjualan cendana, dan 20 persen diberikan kepada warga. Alasan itu menyebabkan masyarakat di Nusa Tenggara Timur, khususnya Kabupaten Timor Tengah Selatan menebang seluruh pohon cendana dan dibiarkan begitu saja.
Perda itu pun akhirnya dicabut, namun terlambat, karena tidak ada lagi pohon cendana yang berdiri di tanah Timor ini. Perda itu kemudian diganti dengan perda nomor 2 Tahun 1999. Perda ini memberikan porsi lebih besar kepada masyarakat yakni 80 persen pendapatan yang diperoleh dari penjualan cendana, dan 20 persen menjadi bagian pemerintah.
Untuk mengembalikan NTT sebagai daerah cendana, pemerintah provinsi sejak tahun 2008 lalu mulai mencanangkan penanaman kembali cendana. Meski begitu, budidaya cendana belum terlihat serius karena masyarakat masih khawatir pembagian keuntungan yang tidak seimbang tersebut.
Kekuatiran itulah yang kemudian merubah pandangan masyarakat kepada cendana sebagai pohon yang selalu menimbulkan masalah (Haumlasi).
Gubernur NTT, Frans Lebu Raya mengakui kekhawatiran warga tersebut. "Dalam setiap kunjungan ke Timor Tengah Selatan, saya terus memberikan sosialisasi mengenai perubahan perda tersebut," katanya.
Bahkan, sejak terpilih sebagai gubernur pada 2008 Frans Lebu Raya memprogramkan NTT sebagai provinsi cendana. Budidaya cendana terus dilakukan hingga tahun 2010 di sejumlah lokasi di Timor Tengah Selatan dan Kabupaten lainnya.
Pemerintah juga memberikan kesempatan kepada semua pihak yang mau membantu mengembalikan kejayaan cendana di NTT. "Kita terima dengan tangan terbuka bantuan dari berbagai pihak," kata dia.
Terakhir, pada 2009, International Tropical Timbre Organization (ITTO) yang berkantor di Jepang juga melakukan budidaya cendana di Timor Tengah Selatan. Selain itu, Gerakan Kemanusiaan Posko Jenggala, Jakarta, juga berniat menanam satu juta pohon cendana di Kabupaten Timor Tengah Selatan, mulai tahun 2011.
Kegiatan ini diawali penyediaan benih untuk disemaikan selama enam bulan sebelum siap ditanam. "Kita baru kembali dari Timor Tengah Selatan dan melihat kenyataan bahwa cendana di sana sudah habis," kata Koordinator Posko Jenggala Andi Sahrandi.
Harumnya pohon cendana di NTT berbeda dengan pohon cendana yang telah dikembangkan di beberapa provinsi lain, seperti di Gunung Kidul, Jogjakarta. "Cendana di Gunung Kidul itu tidak wangi," katanya.
YOHANES SEO