TEMPO Interaktif, Banda Aceh - Siaran radio maupun televisi yang tidak berbau islami bakal dilarang tayang di Aceh. Hal itu sesuai dengan Rancangan Qanun (Perda) tentang Lembaga Penyiaran, yang disampaikan oleh Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Aceh kepada Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) untuk dibahas.
Menurut Anggota KPID Aceh, Muhammad Yusuf, Qanun tersebut kini telah masuk dalam rencana pembahasan DPR Aceh. “Qanun tersebut sejak lama dan telah diuji publik,” ujarnya serta mendapatkan persetujuan dari semua pihak,” ujarnya dalam diskusi publik yang diselengarakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Banda Aceh, Senin (03/05).
Menurutnya, dasar hukum perlunya qanun tentang lembaga penyiaran adalah Undang Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA).
Dia menilai sejumlah larangan dalam siaran adalah untuk menyelamatkan moral generasi muda Aceh dari pengaruh buruk media. Aturan mengenai program dan isi siaran sangat dibutuhkan di Aceh mengingat Aceh sedang menerapkan syariat islam. “Semua film atau produk siaran televisi dan radio di Aceh akan disensor kembali oleh Badan Sensor Daerah Aceh meskipun sudah lolos sensor oleh Badan Sensor Nasional,” katanya.
Dalam rancangan qanun tersebut, antara lain disebutkan lembaga penyiaran dilarang menyiarkan program acara penggalangan dana, pendidikan, dokumenter, film, sinetron, drama, features serta berita investigasi, lagu, musik, iklan, pelayanan kesehatan, quiz, selain untuk kepentingan agama Islam.
Selanjutnya, lembaga penyiaran lokal juga dilarang menyiarkan acara yang menjurus kepada dakwah agama selain agama Islam dan lembaga penyiaran dilarang menyiarkan peringatan hari valentine dan program yang tidak sesuai dengan nilai Islam dan adat budaya Aceh dalam bentuk apapun.
Dalam diskusi tersebut, pihak KPID mendapat tantangan dari sejumlah pihak. “Rancangan Qanun tersebut terdapat beberapa pasal yang dapat menimbulkan kontroversial dan multitafsir,” kata Saifuddin Bantasyam, dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala.
Dia mengkhawatirkan, jika Rancangan Qanun tersebut nantinya disahkan, akan menjadi masalah karena dinilai menghambat lembaga penyiaran di Aceh dan kebebasan pers.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Banda Aceh telah meyatakan menolak lahirnya Qanun tersebut, karena bertentangan dengan aturan secara nasional. Rencananya AJI Banda Aceh juga akan melakukan uji materil pasal 153 Undang Undang Pemerintah Aceh ke Mahkamah Konstitusi.
“Pasal 153 merupakan dasar hukum pembentukan Qanun itu. Kami akan melakukan uji materil pasal tersebut, supaya qanun tersebut tidak lahir,” kata Ketua AJI Banda Aceh, Muchtaruddin Yakob. AJI Banda Aceh terus berupaya mencegah lahirnya qanun tersebut dengan melakukan pendekatan ke DPRA.
Adi Warsidi