TEMPO Interaktif, Jakarta - Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Patra M Zein mengatakan bahwa departemen hukum dan hak asasi manusia belum mampu memilah program prioritas.
"Kalau kebijakan pengkajian buku diletakkan pada masa awal pemerintahan itu menandakan Depkumham belum mampu memilah program prioritas," kata Patra saat ditemui wartawan di kantornya, Selasa (5/1).
Patra mengingatkan bahwa pengkajian, pelarangan dan pembakaran buku hanya ada dalam rezim totaliter dan otoriter. "Kalau itu dijadikan kebijakan pada era sekarang jadinya malah kontradiktif. Menteri yang seharusnya melindungi hak asasi manusia justru menekan kebebasan berekspresi," kata Patra. Yang diharapkan, lanjut dia, sebenarnya adalah klarifikasi dan pemberian pengetahuan kepada masyarakat mengenai fakta yang terjadi.
Alasan bahwa isi buku dinilai mengganggu ketertiban dan kepentingan masyarakat lebih luas, kata Patra harus dipastikan dulu. Caranya dengan dilakukan pengkajian yang melibatkan partisipasi masyarakat dan akademisi. "Mengkaji supaya kebijakan pelarangan tidak sewenang-wenang dan disalahgunakan," ujarnya.
Patra juga mengingatkan bahwa sebenarnya Kementerian Hukum punya pekerjaan yang lebih penting. "Misalnya mengkaji peraturan yang diskriminatif dan merumuskan kebijakan bantuan hukum nasional," ujarnya.
Seperti diberitakan sebelumnya departemen hukum dan hak asasi manusia telah mengkaji 200 buku yang dinilai profokatif, mendorong tindakan sparatisme, bunuh diri dan lain-lain. Dari 200 buku tersebut ada 20 buku yang dinilai masuk kategori. Depkumham berencana akan mengusulkan pelarangan buku tersebut kepada kejaksaan agung.
TITIS SETIANINGTYAS